Kata orang pengalaman adalah guru yang terbaik. Maksudnya mungkin dari pembelajaran pengalaman yang sudah dialami beberapa waktu sebelumnya, tidak bakal terulang kembali dengan cara penanganan yang sama alias jangan sampai kejedot kedua kali. Tetapi pada faktanya tidak sedikit pengalaman bukan menjadikan guru yang baik. Malah kadangkala menjadikan blunder.
Seperti halnya yang penulis alami beserta isteri yang main ke tetangga di rumah yang sekarang kami kontrakkan. Seorang ibu yang masih berumuran sekitar lima puluh tahun dan sudah ditinggal mati suaminya yang terkena lever, tiba-tiba saja menumpahkan tangisannya ke isteri yang terbengong-bengong dan penulispun menjadi terkaget kaget.
Di sela-sela tangisannya, dia bercerita kalau beberapa bulan ini hidupnya tidak tenang karena ditagih hutang oleh debt collector yang kadangkala menggertak serta mengancam hidupnya yang tinggal sendiri. Sementara anak, menantu dan cucunya tinggal di rumah sendiri yang agak jauh dari tempat tinggalnya.
Mencoba merunut kejadian dari awal yang boleh dikatakan tragis di tengah tangisan tetangga rumah kami yang lama. Sebut saja ibu ini si A. Ibu ini mempunyai sahabat baik yang bernama B. Â Si A ini orangnya baik dan tidak tegaan dan tidak tegelan. Suatu kali si B memerlukan dana yang tidak cukup besar kalau dari ceritanya. Dan si B ini minta tolong kepada si A mencarikan bank titil alias rentenir yang rajin beranjangsana mencari mangsa.
Tanpa proses lama disepakatilah pinjaman oleh si B. Tetapi pada proses tagihan di bulan berikutnya sesuai dengan apa yang disepakati, ternyata yang didatangi oleh debt collector adalah ibu A ini. Dan ibu inipun mencak-mencak karena merasa tidak menerima uang pinjaman dari sang rentenir sepeserpun. Dan ibu A ini sampai tidak bisa berkata apa-apa, karena tidak menyangka kawan baiknya setega ini.
Menjadi ingat sejenak, waktu ibu A ini bercerita kepada isteri penulis, sebelum kejadian ini terjadi. Isteri penulis pernah memberikan pesan kepada tetangga kami ini, seperti ada tertulis. Jangan engkau termasuk orang yang membuat persetujuan, dan yang menjadi penanggung hutang. Tetapi ibu A ini berdalih kalau si B ini ini adalah sahabat dan tidak mungkin berbuat yang macam-macam.
Rasanya mungkin sepele. Apalagi merasa yang meminta tolong adalah saudara dekat, sahabat ataupun kerabat. Tetapi itu tidak menjamin akan beresnya pembayaran cicilan hutang yang sudah berjalan. Karena sekali lagi benar kata pepatah, dalamnya sumur bisa diukur, nasib orang siapa yang tahu.
Sejenak berhenti dari tangisan yang pertama, apakah ini pertanda uneg-unegnya tetangga rumah kami sudah terlampiaskan? Ternyata tidak. Sesaat, penulis menanyakan kelanjutan solusi masalah dampak dari si penanggung hutang, si ibu A ini malah menangis untuk kedua kalinya. Rupanya masih ada masalah lagi yang jauh lebih besar.