Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kursi....

26 Oktober 2023   12:55 Diperbarui: 26 Oktober 2023   13:00 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan kemarin, di suatu hari yang panas, seorang bapak mengontak penulis untuk minta tolong dikirim sebuah kursi dan meja belajar buat anaknya. Memang, sebelum memasuki masa pensiun, penulis sudah ada usaha sampingan membuka toko meubel kecil-kecilan dengan cara online untuk kegiatan sehari-hari. Dan itu berlangsung sampai sekarang, sekalipun tidak selaris saat ada pendemi. Penulis hanya menawarkan barang dagangan lewat media sosial saja. Kalau ada yang berminat dan cocok harga, maka segera penulis kirim ke alamat pemesan dan bayar di tempat.

Dengan cara seperti ini, tetap ada kegiatan buat otak dan fisik, yang bisa penulis lakukan setiap harinya. Selain memposting barang-barang untuk ditawarkan, juga aktifitas kalau ada pengiriman ke rumah konsumen. Tentu saja selain beraktifitas dengan dunia tulis menulis artikel untuk bisa tayang di kompasiana, dan juga kegiatan bersih-bersih halaman dengan tanam menanam atau siram menyiram tumbuhan yang ada di depan dan belakang rumah.

Kursi dan meja belajar yang penulis kirim tidaklah terlalu mahal, dengan bahan dan desain yang cukup bagus dan warna yang menarik hati anak-anak. Tidak memakai busa di kursinya, karena ditakutkan si anak-anak yang duduk belajar malah ketiduran karena empuknya. Melihat kedatangan kursi dan meja belajar yang diinginkannya, si anak ini berteriak kegirangan sambil berjingkrak-jingkrak.

httpswww.pexels.comid-idfotocowok-dan-cewek-duduk-di-bench-toy-1767434
httpswww.pexels.comid-idfotocowok-dan-cewek-duduk-di-bench-toy-1767434

Tetapi tanpa diduga salah seorang anak yang lain, yang penulis baru tahu, itu adalah saudara kembarnya, meminta juga kursi dan meja belajar yang sama hanya beda warna. Terlihat wajah si bapak yang kebingungan, dan tidak menduga akan ada kejadian seperti ini. Berpikir positip saja, mungkin bapaknya berharap kursi dan meja belajarnya bisa dipakai bergantian oleh kedua anaknya, untuk menghemat biaya.

Tetapi apa yang penulis lihat di depan mata kepala sendiri, adalah bagaimana kemudian terjadi perebutan kursi di kedua anak kembar ini. Dan lucunya tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya keduanya menangis. Satu orang anaknya segera diangkat oleh bapaknya, dan seorang yang lain dingkat oleh ibunya. Mau tidak mau akhirnya bapaknya pesan lagi satu kursi dan mejanya. Sekalipun baru bisa terkirim minggu depannya, karena warna keinginan anaknya sudah habis stocknya. Buat penulis ini berarti cuan. Hmm.

Tetapi di satu sisi, penulis jadi ingat slogan iklan salah satu produk furniture di era tahun seribu sembilan ratus delapan puluhan. Begini bunyinya. Kalau sudah duduk, lupa berdiri. Dan kalau dipikir dan direka-reka sampai jauh ke dalam, ada benarnya juga. Kalau kursinya enak dan nyaman untuk diduduki, mana ada yang rela untuk dierahkan kepada yang lain ? Bukan lagi seperti yang dilakukan anak kembar tadi. Tetapi lebih jauh sudah masuk ranah kekuasaan. Benar ?

httpspixabay.comidphotoskursi-mebel-tempat-yang-hilang-tua-3209341
httpspixabay.comidphotoskursi-mebel-tempat-yang-hilang-tua-3209341

Bagaimana tidak. Ketika kekuasaan sudah di tangan dan dengan duduk di atas kursi yang empuk, itu rasanya sebuah kenikmatan yang tiada tara. Bahkan untuk berdiri, sekedar ke toiletpun, rasanya enggan, karena kursinya begitu empuk dan nyaman. Jaman terus berputar, tetapi tidak demikian dengan tagline tadi. Masih dikatakan relevan sampai saat ini.

Entah juga apa yang dipikiran orang yang bisa duduk di kursi empuk yang seringkali direbutkan dan diributkan. Bertahan duduk, dengan kursi yang kalau perlu dirantai dengan mejanya sekalian. Kalau sekiranya bisa pun mungkin isterinya dipanggll untuk menjaga kursinya. Selain tentu saja berharap kursinya bisa diduduki oleh garis keturunannya. Sehingga kursinya tidak bergerser barang seincipun.

Seperti anak kecil tadi. Bisa saja mungkin salah satu dari mereka, merespon dengan mengalah dan membiarkan saudaranya untuk bisa duduk sejenak di kursinya. Seolah biar dianggap bijaksana. Atau bisa juga dengan kekuatannya, salah seorang anak bertahan mempertahankan kursinya agar bisa menunjukkan powernya. Atau juga dengan hal lain, agar bisa menunjukkan ada hubungan timbal balik antara uang dan daya tarik.

httpspixabay.comidphotoskertas-bisnis-feng-shui-3149117
httpspixabay.comidphotoskertas-bisnis-feng-shui-3149117

Pernah penulis beroleh pesan, tetapi bukan pesan berantai yang dulu sering terjadi untuk menakut-nakuti orang lain. Begini pesannya. Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya. Jadi kalau anak kecil saja sudah berebut kursi, apalagi yang tua atau bahkan yang masih muda belia.

Jadi bisa dipikir ulang, apakah sebuah kursi yang salah satu kakinya dipotong masih bisa untuk diduduki layaknya sebuah singgasana di dalam kerajaan antah berantah ? Ataukah tidak dibayangkan seandainya kursi yang diduduki menjadi berlubang seperti kursi kloset buat anak usia di bawah lima tahun ? Mengapa ? Karena yang selalu ada di benaknya adalah menduduki sebuah kursi empuk itu adalah sesuatu yang bernilai kekuasaan, bisa beroleh fasilitas, dihormati kanan kiri depan belakang sambil mengangguk-angguk dan berseru trilili lili. Dan karena kursi empuk itulah orang yang duduk di atasnya menjadi ditakuti untuk berebut pengaruh yang membuat orang lain berusaha mati-matian untuk senantiasa dekat dengannya.

httpspixabay.comidphotosruang-kursi-cermin-mirror-image-5264172
httpspixabay.comidphotosruang-kursi-cermin-mirror-image-5264172

Satu hal yang biasanya orang menjadi lupa. Bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya  dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya. Apalagi hanya untuk bisa duduk di kursi empuk yang setiap saat bisa saja bantalan sofanya menjadi lembek dan sobek-sobek, atau tiba-tiba kaki kursinya  patah mendadak karena tidak kuat menahan beban dosa di hadapan Tuhan ? Begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun