Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Permainan....

17 Oktober 2023   15:55 Diperbarui: 17 Oktober 2023   16:03 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
httpspixabay.comidphotostic-tac-toe-jantung-permainan-kapur-1777859

Waktu baru saja menunjukkan jam sepuluh malam di hari Jum’at kemarin. Ketika tiba-tiba hujan mengguyur wilayah dimana penulis tinggal. Tidak hanya gerimis. Tetapi benar hujan yang lebat, sampai-sampai genteng di belakang rumah yang belum lagi tertata, karena terkena imbas akibat tetangga yang sedang merenovasi rumahnya belum selesai, meneteskan air di berbagai titik. Cukup lama hujan saat itu. Kurang lebih ada satu setengah jam. Tetapi itu cukup membuat hati dan pikiran jadi adem.

Sambil menunggu barangkali Tuhan kirim hujan lagi, penulis berdua isteri menikmati Sabtu sore yang syahdu dengan duduk di teras depan rumah. Tak lupa secangkir kopi dan beberapa potong pisang goreng menemani. Di jalanan depan rumah, ada beberapa anak yang bermain dan berkejaran sambil juga menunggu hujan turun. Karena saat itu cuaca rada mendung mendukung.

httpspixabay.comidphotosanak-anak-masa-kanak-kanak-permainan-5833685
httpspixabay.comidphotosanak-anak-masa-kanak-kanak-permainan-5833685

Tiba-tiba isteri nyeletuk, kita ini termasuk generasi yang bisa menikmati permainan masa lalu hingga masa kini. Benar juga. Mendadak jadi teringat bagaimana waktu kecil , kami masih bisa melakukan permainan yang mungkin generasi sekarang sudah tidak mengenalnya lagi. Ada permainan petak umpet, gobak sodor, bentengan, layangan, kelereng, engklek, lompat tali karet, karet gelang, egrang, bola bekel, cublak-cublak suweng, congklak dan masih banyak lagi yang penulis lupa namanya.

Rasanya dunia penuh petualangan dan seru, Belum lagi kalau sudah ketemu teman-teman sepermainan. Bisa lupa waktu. Kalau orang tua atau kakak tidak berteriak minta kami pulang, rasanya permaianan akan terus berlanjut sampai malam. Seperti yang ada di hadapan penulis saat ini, jadi mengingatkan masa lalu. Mungkin bagi anak-anak di perumahan penulis tinggal hanya sabagian kecil yang masih bisa berkejaran dan bermain satu dengan yang lainnya tanpa menenteng handphone andalan masa kini.

Karena perkembangan jaman yang demikian cepat berubah, dimana keaneka ragaman sosial sedang berubah ke arah individualistis. Seperti fenomena yang saat ini gencar dilakukan oleh hampir setiap orang. Itulah Phubbing, sebuah kependekan dari phone snubbing, sebagai istilah untuk orang yang lebih fokus kepada gawainya, daripada lingkungan sekitar.  Sebuah tindakan yang dilakukan orang per orang dengan bersikap acuh dalam sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gawai ketimbang berinteraksi atau melakukan percakapan.

httpspixabay.comidphotossamsung-telepon-musik-bermain-605439
httpspixabay.comidphotossamsung-telepon-musik-bermain-605439

Dan ini seringkali kita sendiripun melakukannya tanpa sadar. Bisa kita lihat dengan mudah saat kita duduk di sebuah rumah makan atau tempat lainnya. Dimana sebuah keluarga lebih asyik memainkan ponsel mereka masing-masing daripada ngobrol bersama. Dan ini sepertinya sudah menjadikan ponsel menjadi sebuah berhala yang tidak bisa dipisahkan.

Lalu isteri penulis masih nyeletuk juga. Dulu kita masih bisa merasakan televisi hitam putih yang kotaknya bisa segede gaban. Radio yang hanya mengudara lewat Radio Republik Indonesia dengan daya yang menggunakan batu baterre. Mendengarkan lagu-lagu lewat piringan hitam atau kaset yang pitanya sering molor, sehingga nada lagunya jadi kendor. Bisa foto diri dengan kilatan lampu yang menyentak mata. Dan harus berdiri kaku layaknya tugu. Karena kalau badan goyang hasil fotonya jadi membayang.

Betul juga. Belum lagi serunya kita bisa bermain dan bersekolah bersama-sama dengan berbagai strata, entah dari suku mana, entah dari etnis mana. Karena kawan sekolah penulis juga ada yang bertetnis Tionghoa dan Arab. Tidak hanya seperti kondisi sekarang. Ada anak yang karena alasan tertentu, hanya ikut program homeschooling. Jadi serunya dimana ? Bahkan masa tuanyapun tidak mengenal apa itu reuni. Benar ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun