Menemani isteri yang sedang menyapu lantai dan bebenah kamar, penulis sempatin juga membereskan berkas-berkas di lemari arsip, sekaligus memilah mana yang sudah usang dan bisa dibuang atau dihancurkan. Tiba-tiba saja ada arsip surat tugas yang sudah kusam terlihat, dengan tahun yang cukup lama. Tertulis tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga, Sudah tiga puluh tahun rupanya.
Menerawang jauh ke belakang saat awal bertugas sebagai karyawan honorer di kantor bagian proyek pemerintah di kota Tegal tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh tiga. Dan seperti membuka album lawas yang berisi potongan-potongan cerita dengan suka dan dukanya sepanjang tiga tahun bertugas di kota Bahari yang terkenal dengan sate kambingnya. Sebelum akhirnya diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dan kemudian dipindah tugas ke kota Kudus.
Sebuah kenangan terlintas di kepala dengan cepat, seperti menyetel kaset yang generasi sekarang sudah tidak mengenal teknologi kaset dan tape recorder. Teringat ucapan seorang Pemimpin Bagian Proyek berasal dari daerah Sumatera, yang akan pindah tugas. Beliau memberi wejangan, yang sampai saat ini masih membekas di hati, dengan cara santai sambil kami karyawannya, menikmati sate kambing dan teh poci.
Begini pesannya. Apabila di sebuah kantor proyek atau di komunitas apapun namanya, ada seorang bawahan yang minta pindah tugas ke tempat lain itu wajar dan gak apa-apa. Mungkin karena ada keperluan keluarga. Kalau ada dua atau tiga bawahan minta pindah bersama itu biasa. Kalau ada empat atau lima yang minta pindah bersama itu luar biasa. Tetapi kalau yang minta pindah lebih dari lima secara bersamaan, itu baru tanda tanya. Ada apa sebenarnya ? Sebagai kesimpulan, Itu berarti saya sebagai pimpinan tidak becus mengurus bawahan. Jadi sayalah yang harus segera pindah. Sebuah makna akan arti introspeksi diri sendiri.
Karena pada dasarnya semakin tinggi posisi, apapun posisi kita saat ini, akan diuji seberapa jauh perilaku kita dalam menerima pendapat dan masukan dari bawahan, sekaligus alergi tidak, akan sebuah kritikan. Jujur saja, pesan beliau masih membekas di hati sampai sekarang. Rasanya perlu digaris bawahi pembekalan seperti ini yang menyentuh lubuk hati yang paling dalam, bukan sekedar ulas-ulas lambe atau sebatas seremonial belaka. Dan itu menjadikan bekal dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari atas nama iman kepada Sang Khalik juga.
Seperti halnya, siapa sih yang setiap hari tidak pernah bertatapan dengan cermin ? Habis mandi, mau sekolah, mau kuliah, mau kerja ataupun mau jagong manten. Semuanya aktif bercermin. Tidaklah jauh seperti ada tertulis. Engkau mengetahui kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kau maklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kau ketahui, ya Tuhan.
Jadi, menjadi menarik kalau saja kita semua bisa mengerti akan kebenaran yang hakiki seperti tertulis di atas. Dan tentu saja menyadari akan segala tindak tanduk dan perilaku kita sehari-hari yang bisa membawa dampak akan sebuah penilaian dari orang lain. Karena tidak bisa tidak, suka tidak suka, mau tidak mau, kita akan beroleh penilaian positip atau negatip dari sekitar kita. Apalagi kalau kita tanpa sadar melakukan sebuah tindakan yang ceroboh bahkan serong kanan serong kiri, tanpa mempedulikan lingkungan di sekitarnya. Bahkan anak buahnyapun kadangkala dikorbankan sebagai tameng hidup.