Beberapa waktu yang lalu, penulis beserta isteri mendapat undangan reuni kawan-kawan semasa sekolah di Sekolah Menengah Atas. Sebuah acara yang tadinya tidak direncanakan. Karena awalnya hanya sekedar temu kangen antar kawan yang tinggal di Jakarta. Karena ada rasa kangen yang membuncah, maka secara tiba-tiba, dibuat acara reuni di kota tempat kami bersekolah dulu.
Karena hanya rancangan kilat , maka dibentuklah panitia kecil yang berisi kawan-kawan yang ekonominya kuat dan masih menjabat. Mungkin sebuah kealpaan atau ketidak sengajaan, yang menyadarkan akan arti sebuah jabatan. Karena seiringnya berjalannya waktu, kawan lama ini yang masih menjabat di sebuah instansi pemerintah, tanpa sadar bertindak araogan dan merendahkan kawan-kawannya yang dianggap tidak mampu untuk membayar iuran acara reuni tersebut.
Acara reuni belum berlangsung, tetapi kekisruhan dan ketidakharmonisan telah terjadi, akibat tindakan kesewenang-wenangan salah seorang panitia yang masih sok berkuasa. Sampai pada akhirnya, karena mendengar suara-suara sumbang yang beredar di media sosial, sang kawan ini mundur dari kepanitiaan. Dan tanpa kompromi dengan anggota panitia kecil, tiba-tiba ketua panitia juga mengubah lokasi reuni  ke tempat lain. Sebuah arogansi berselimut post power syndrome? Bisa jadi.
Di tengah makin panasnya cuaca yang membakar kulit, sepertinya ada dua hal yang seringkali dilakukan manusia tanpa sadar berkaitan dengan sikap hidupnya, yaitu ketika manusia sudah berhubungan dengan harta dan tahta. Sudah banyak contoh di sekitar kita sebetulnya, yang mempertontonkan hal tersebut. Dan akibat perubahan sikap hidupnya bisa membawa manusia tersebut ke dalam kehancuran.
Menjadikan sebuah pertanyaan. Apakah sejatinya demikian halnya, ketika strata seseorang makin naik bak ke atas pucuk pohon kelapa, akan diikuti juga dengan makin meningginya ego dan arogansinya ? Kayaknya dalam pemetaan akan terjawab iya. Buktinya sudah cukup banyak di sekitar kita. Apalagi orang tersebut memegang sebuah jabatan di instansi pemerintah. Digebyah uyah ? Tidak juga. Tetapi faktanya benar adanya.
Seperti sebuah contoh yang dialami oleh seorang yang bernama Haman bin Hamedata, yang tecatat dalam sejarah Kitab Suci. Sesudah peristiwa-peristiwa ini maka Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniakanlah kebesaran oleh raja Ahasyweros, dan PANGKATnya dinaikkan serta KEDUDUKANNYA ditetapkan di atas semua pembesar yang ada di hadapan baginda
Perubahan dalam jabatan yang tinggi tentunya akan diikuti juga dengan penghasilan yang diterimanya. Dan hal ini yang seringkali tidak diikuti dengan sikap hati yang benar. Karena ada kecenderungan memanfaatkan jabatan dan harta yang bertambah untuk bisa melakukan apa saja sesuai keinginan hawa nafsunya. Seperti hal kisah berlanjut.
Ketika Haman melihat, bahwa Mordekhai tidak berlutut dan sujud kepadanya, maka sangat panaslah hati Haman. Hanya karena tidak menaruh hormat, Haman bisa bereaksi berlebihan dengan memanfaatkan jabatan yang dimilikinya. Dan ini tentu saja dapat merugikan orang lain yang tidak tahu menahu kejadian yang sesungguhnya. Sebuah ke egoan dan naiknya arogansi bisa membuat kacang lupa akan kulitnya.