Barusan saja tadi pagi penulis melihat dan mendengarkan berita di salah satu saluran televisi swasta yang memberitakan terjadinya perebutan harta waris yang berujung keributan dan perkelahian. Sambil menyeruput teh "WASGITEL" singkatan dari wangi, panas, sepet, legi, lan (dan) kentel (kental), yang artinya teh panas, manis, wangi beraroma bunga melati dan berwarna hitam pekat/kental produk kota Tegal, penulis mencoba memahami berita ini.
Bahkan sekian waktu yang lalu pernah terjadi juga kisah pembunuhan kakak beradik yang dilandasi perebutan warisan orang tuanya yang baru saja meninggal. Sesuatu yang membuat nilai-nilai harkat, tabiat bahkan keimanan seseorang seakan terhempas karena sudah terjebak dengan nafsu duniawi. Â Memang kalau sudah bicara tentang harta dan uang, rasanya hubungan kekerabatan bisa terputus. Apalagi kalau sudah bicara tentang derajat dan urutan keluarga.
Memang menjadi menggiurkan kalau berbicara tentang warisan. Apalagi warisan berupa harta yang sungguh fantastis nilainya. Dari kacamata manusia, bisa dikatakan warisan adalah harta atau yang berupa asset yang dilanjutkan antar generasi, yaitu dari generasi kepada generasi berikutnya. Bentuk warisan bisa saja berbentuk berbagai jenis asset. Entah itu berupa uang tunai ataupun uang digital, bisa juga dalam bentuk properti dan barang-barang berharga. Bahkan dimungkinkan juga warisan berupa pengetahuan ataupun tradisi keluarga.
Berbicara warisan ini seringkali dikaitkan untuk dapat diwariskan kepada anggota keluarga atau pihak yang dianggap berhak menerimanya, seperti ahli waris atau juga penerima wasiat. Ada berbagai cara warisan dapat diwariskan kepada yang berhak, misal dalam bentuk wasiat, hibah atau bisa juga diberlakukan secara otomatis sesuai dengan hukum warisan yang berlaku di suatu wilayah.
Yang menjadi persoalan adalah ketika sang ahli waris merasa sama ngotot dan berhak memperoleh harta warisan tersebut. Adab tata krama dan budi pekerti sontak hilang bak ditelan bumi demi mendapatkan harta waris. Jarang sekali ditemui untuk antar ahli waris bisa duduk bersama, ngopi bersama untuk mencari kebersamaan. Justru yang didapat adalah baku pukul bahkan tiba-tiba bisa menjadi raja tega, tanpa ada yang mengangkat dan mengukuhkan status rajanya.
Penulis mengalami bagaimana cara mencari jalan keluar saat rumah orang tua harus dikemanakan, mengingat kedua orang tua sudah meninggal dunia. Dan sempat terucap oleh kedua orang tua penulis, agar rumah tinggal ini jangan sampai dijual ke orang lain. Padahal anak-anaknya sudah berkeluarga dan semua tinggal di luar kota.
Menjadi ribet, karena biaya pemeliharaan rumah peninggalan orang tua lumayan besar. Sedang kondisi keuangan anak-anaknya tidaklah sama. Ada yang hidupnya mapan, ada juga juga yang hidupnya pas-pasan. Belum lagi betapa banyaknya barang-barang yang di dalam rumah, yang masih bisa dikategorikan semi antik. Yang bisa menjadi bulukan dimakan usia.
Belajar dari hidup yang berlandaskan ke imanan kepada Sang Khalik yang memberi nafas kehidupan dan berkat yang tidak ada habisnya, akhirnya dilakukan konferensi meja bundar diantara kami, anak-anaknya. Sesuai dengan wasiat orang tua, agar rumah tidak berpindah tangan ke orang lain, maka disepakati rumah tersebut dibeli oleh anak yang mampu dan memiliki finansial yang kuat. Hasil penjualan rumah dibagi rata antar anak-anaknya. Sedang harta dan barang-barang berharga juga dibagi bersama dengan lapang dada.