Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tawar Hati...

7 Juli 2023   12:05 Diperbarui: 7 Juli 2023   13:08 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari belum tinggi, ketika kami berdua memulai jalan pagi berkeliling perumahan dimana kami tinggal. Dedaunan yang masih basah akibat diguyur hujan sepanjang malam masih menempel jelas. Sambil berjalan sayup-sayup terdengar sepenggal lagu di kejauhan yang diputar tetangga. Apakah kau payah mencari-cari. Apakah kau payah berkeliling. Bawalah sekarang segala susahmu…

Mendadak ingatan kembali ke awal-awal dulu ketika si sulung mulai beranjak belajar berjalan. Sambil berjalan menikmati sore, si sulung penulis taruh di pundak menyusuri alun-alun utara kota Yogyakarta. Ada satu pertanyaan yang menggelitik muncul dalam hati. Akan jadi apakah si sulung besok gedenya ? Apakah penulis sanggup membiayai pendidikannya sampai selesai ?

Mungkin itu sebuah kekuatiran yang berlebihan yang bisa disejajarkan dengan rasa tawar hati, menurut sinonim bahasa Indonesia. Dan rasanya itu manusiawi sekali . Karena kekuatiran itu bisa terjadi pada siapa saja yang memulai dalam melangkah hari lepas hari. Tidak terbatas pria atau wanita, kaya atau miskin, pejabat atau pengusaha, semuanya bisa terjebak dalam rasa tawar hati ketika tiba-tiba diperhadapkan dengan masalah.

pexels-pixabay-278303
pexels-pixabay-278303

Kadangkala memang di dalam keseharian tidak lepas dari rasa kuatir, sesuatu hal yang wajar. Tetapi seringkali juga kita memendam rasa kuatir itu menjadi sesuatu yang berlebihan. Bahkan akibat kekuatiran yang berlebihan cenderung membuat kita tidak bisa tidur, malas makan dan mendadak menjadi seorang pendiam.

Minggu kemarin penulis kedatangan tamu sebuah keluarga muda yang baru memiliki seorang anak. Tanpa diduga si bapaknya langsung bercerita kalau menguatirkan pertumbuhan anaknya. Dia kuatir apakah ke depannya, anaknya ini bisa bersekolah atau tidak. Mengingat kondisi keuangan keluarga yang tidak jelas. Sebuah kekuatiran yang persis, yang pernah penulis alami. Dan rasanya ini menjadi hal yang umum terjadi di sekeliling kita.

Sebuah kekuatiran yang dibiarkan tumbuh tanpa kendali, apalagi tanpa kekuatan iman yang kuat kepada Sang Khalik bisa menyebabkan timbulnya depresi. Dan ketika depresi mulai merasuk dalam kejiwaan seseorang tanpa ada penghalang, bisa menyebabkan seseorang nekad melakukan bunuh diri. Disinilah tingkat kedewasaan iman dan penguasaan diri seseorang diuji.

pexels-trần-long-7743765 
pexels-trần-long-7743765 

Bisa saja terjadi sebuah kekuatiran menjadi rapi dibungkus di dalam hati. Tanpa mau mengerti apakah kekuatiran tersebut akan terjadi sesuai alam pikirannya akan menjadi kenyataan di esok harinya. Karena seringkali yang terjadi adalah pikiran kita yang bermain untuk bisa mengatasi segala kekuatiran yang sedang dihadapinya. Tidak jarang yang timbul kemudian adalah rasa keputusasaan dan tanpa pengharapan.

Sesaat sebelum keluarga muda ini pamit untuk pulang, sepenggal kalimat yang penuh makna, tiba-tiba terlontar keluar seketika. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah sehari. Lalu sambil menjabat tangan erat-erat, dia berkata, terima kasih pak.

pexels-mariana-montrazi-7366424
pexels-mariana-montrazi-7366424

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun