Mungkin ini sebuah contoh yang tidak pantas ditiru. Tetapi kalau ini adalah sebuah persoalan yang bisa membahayakan diri dan keluarga, mungkin bisa menjadi alternatif. Seperti halnya beberapa waktu sebelum penulis memasuki masa purna tugas, dan di tengah hiruk pikuknya Covid-19, beberapa kali penulis ditugaskan dinas luar kota ke daerah zona merah oleh atasan langsung.
Dengan beberapa cara, penulis coba kemukakan keberatan untuk ditugaskan dinas ke luar kota. Karena ini ibarat buah simalakama. Dimakan mati bapak, tidak dimakan mati emak. Memang kondisi lapangan perlu penanganan segera untuk memperlancar pembangunan. Di satu sisi, daerah yang harus didatangi merupakan zona merah yang sedang gawat-gawatnya. Di sisi lain ini terkait nilai lebih buat atasan, kalau programnya berhasil sesuai waktu, tanpa peduli kondisi dan situasi saat itu.
Senjata pamungkas yang penulis kemukakan kepada atasan seperti ini. Kalau kami dengan tim berangkat ke zona merah, dan pulang dalam keadaan sehat apa yang kami dapat ? Mungkin hanya sebatas pujian. Tetapi kalau kami dengan tim pulang dari zona merah kemudian divonis terpapar Covid-19 dan harus dikarantina jauh dari dari keluarga, apa yang kami peroleh ?
Bisa jadi dari kantor paling hanya kirim buah pisang atau buah jeruk, sebagai tanda perhatian saja. Tetapi isteri dan anak-anak ? Siapa yang menanggung ? Apalagi kalau sampai kehilangan nyawa. Lontaran kata-kata ini bukan bermaksud melawan perintah atasan, tetapi mencoba mendekatkan rasa empati akan sebuah tanggung jawab yang bersentuhan dengan taruhan nyawa.
Karena sejujurnya saat kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya, rasanya kita tidak bisa lagi membedakan siapa kawan siapa lawan. Maksudnya, tanpa kita ketahui dengan pasti, kawan dekat yang sehari-harinya bekerja sama, ternyata sudah terinveksi. Atau malah sebaliknya, tanpa kita sadari, ternyata diri kita yang sudah terpapar Covid-19. Dan itu mengakibatkan kawan dekat menjadi tertular.
Sesaat sempat terpikir, kenapa juga ada orang-orang di sekitar kita yang demi ambisi, prestasi atau kesenangan diri sendiri, tega memanfaatkan kelemahan orang lain dan mengobankan orang lain. Mengapa kejadiannya tidak sebaliknya, dari penilaian secara subyektif. Kita yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri. Setiap orang diantara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya.
Pandangan di atas tidak diartikan hanya membantu orang lain yang dalam kesusahan secara finansial ataupun membantu orang lain yang bersifat jasmani saja. Karena ketika kita bisa “nguwongke” orang lain bahkan bisa menghibur untuk memulihkan semangat yang patah orang lain, itu adalah yang dinamakan kasih dan perhatian yang sesungguhnya. Tidak sepotong-sepotong.
Bisa terjadi, ketika di awal tahun 2023 dibuka dengan layar hitam yang menggambarkan bakal terjadinya resesi ekonomi yang berkelanjutan dan ketika kita itu rasanya tidak tahu lagi yang apa harus dilakukan, Sang Khalik tahu persis kelemahan dan ketidakberdayaan kita. Bahkan untuk hidup kesehariannya, ketika gelombang PHK mulai terjadi, sebagai contoh.
Dan ketika hal itu terjadi, lewat jalur keimanan yang terus bertumbuh akan membuat kelemahan kita dipulihkan. Iman kita dibangkitkan lagi. Dan tentu saja ada perlakukan dari sesama yang terus mengupayakan perhatian dan kasih. Seperti yang dikatakan-NYA, Inilah perintah Tuhan kepadamu, kasihilah seorang akan yang lain.
Sebuah bayangan terbentuk. Jadi kalau ada saudara kita yang sedang mengalami kelemahan atau kesusahan, cek hati kita, apakah masih ada rasa belas kasih terhadap sesama atau tidak. Karena jangan-jangan kita sudah tidak punya perasaan lagi. Dan itu artinya kita sudah menolak perintah Yang Maha Kuasa. Karena sesungguhnya di atas langit masih ada langit. Benar ?
Mohon maaf Lahir dan Batin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H