Ketika anak-anak kami masih kecil, seringkali kami mengajar untuk mengucapkan terima kasih apabila mereka menerima sesuatu, entah dari papanya atau mamanya, bahkan menerima sesuatu dari orang lain. Untuk mengucapkan terima kasih kami harus mengajarkannya berulangkali sehingga mereka bisa mengucapkan dan merasakannya dengan hati bukan hanya dengan pikiran atau dari mulut saja secara selintas.
Kitapun mungkin pernah mengalami, saat kita membantu orang lain, tetapi orang tersebut tidak mengatakan sepatah katapun. Bahkan orang tersebut malah mengumpat atau tidak suka dengan apa yang kita beri ? Bagaimana perasaan kita ? Marah ? Dongkol ? Kecewa ? Atau saat kita memberi kepada pengamen, misalnya, bukannya ucapan terima kasih yang kita dapatkan, malah kata-kata yang membuat hati tersinggung. Karena merasa apa yang kita beri tidak sesuai dengan ekspektasi si pengamen.
Pernah, suatu kali ada kawan isteri datang ke rumah, untuk pinjam sejumlah dana yang menurut ukuran kami saat itu cukuplah besar. Karena tidak bisa memenuhi permitaan kawan tadi, isteri hanya memberikan setengah yang dia inginkan. Apa respon dari kawan tadi ? Boro-boro mengucapkan terima kasih lewat mulutnya, malah dia bersungut-sungut yang tidak jelas juntrungannya. Dan pada akhirnya pinjaman itupun tidak pernah kembali ke alamat pengirim. Ahay..!
Memang kami sudah sepakat, ketika ada orang yang mau meminjam dana dan kalaupun kami ada, bisa membantu orang lain yang sedang kesusahan, maka kami sudah siap-siap merelakan uang kami pergi dan tidak kembali. Dan kami hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Sang Pencipta, bahwa kami masih punya hati untuk memberi. Karena konon katanya tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.
Memang kadangkala menjadi pertanyaan besar bagi kami berdua, ketika diperhadapkan dengan hal-hal yang semestinya orang lain bisa mengucapkan terima kasih, tetapi tidak dilakukannya. Bahkan rasanya anggah ungguh atau pelajaran budi pekerti yang jaman kami sekolah dulu masih diajarkan, sekarang entah hilang kemana. Jadi, apakah ini termasuk salah pergaulan, salah asuhan atau salah kaprah ? Apakah untuk mengucapkan terima kasih harus dipaksa lewat penjajahan ? Tentu tidak bukan ?
Apalagi di era jaman digital sekarang ini. Bagaimana perilaku anak-anak hanya berinteraksi dengan gadget, tanpa diajarkan berinteraksi dengan orang lain, bahkan ada orang tua yang sengaja menghindar dari komunikasi dengan anak-anaknya, dan membiarkan anaknya dibentuk oleh gadget. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah, apakah gadget bisa mengajarkan ucapan terima kasih ? Apalagi mengucapkan terima kasih dengan hati yang merendah.
Memang, pada kesehariannya, ketika sedang berkomunikasi dengan Sang Khalik melalui doa-doa yang kita panjatkan, tanpa sadar yang sering terucap dan terlontar adalah segudang permasalahan yang sedang kita hadapi. Jarang, bahkan mungkin tidak pernah menyatakan keberadaan kita sampai saat ini adalah karena anugerah-NYA. Malah bisa juga mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kita tidak murni keluar dari lubuk hati yang paling dalam, karena sudah keburu tertimpa dengan segudang permasalahan. Benar ?