Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebaikan....

11 April 2023   10:40 Diperbarui: 11 April 2023   10:36 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-anete-lusina-5721170

Sebagai penggemar sinetron Preman Pensiun yang sedang tayang di sebuah televisi nasional setiap hari, ada beberapa nama yang penulis ingat. Buat penulis, sinetron ini menjadi menarik. Karena yang diangkat adalah kehidupan sehari-hari di area parkir, pasar tradisional sampai terminal bus/angkutan kota, dengan setting di kota Bandung.

Tidak seperti sinetron-sinetron lain yang berlatar orang-orang kaya dengan segala kemegahannya. Justru di sinetron ini mencoba mengaktualisasi kehidupan nyata diseputaran kehidupan preman yang sering bertempur dengan sesama preman lain untuk berebut lahan basah dengan menjukkan keperkasaan kelompoknya.

Sampai di serial yang ke delapan ini, ada tiga tokoh yang menyatakan pensiun dari segala aktivitas dan hiruk pikuk premanisme. Seorang tokoh yang bernama Kang Bahar, yang dulu diperankan oleh Didi Petet almarhum. Tokoh kedua adalah Muslihat, yang diperankan oleh Epy Kusnandar. Dan yang ketiga adalah Gobang yang diperankan oleh Dedi Moch Jamasari.

pexels-neosiam-673862 (1)
pexels-neosiam-673862 (1)

Diantara perseteruan yang terus berlangsung antar kelompok preman yang berebut lahan basah sampai seri yang ke delapan ini, ada kata-kata yang menarik yang terucap dari salah seorang tokohnya. Begini. Sampai kapan kah kita akan terus berantem terus, dengan terus membawa dendam ? Tidak akan ada selesainya. Sampai pada akhirnya tokah Gobang mengatakan, saya sudah pensiun. Kalau kalian mau terus melanjutkan berantem, silakan.

Penulis jadi teringat waktu jaman sekolah dulu. Sebagai penggemar film kungfu dengan bintang kayak Jackie Chan ataupun Jet Li, rasanya film dengan cerita yang penuh bak-buk orang berantem, intinya sebatas balas dendam antara tokoh yang disakiti dengan tokoh yang menyakiti. Dan pada akhirnya penonton puas, karena dendamnya terbalaskan. Benar begitu ?

Yang menjadi pertanyaan, di dalam kehidupan kita sehari-hari yang beragam karakter manusia dan bertetangga, apakah dendam harus tetap terpelihara ? Bahkan mungkin sampai turun temurun ke anak cucu kita ? Hari-hari ini mungkin kita menjumpai orang-orang di sekitar lingkungan kita yang membuat ulah, menjengkelkan, memfitnah, bahkan menyakiti hati kita, yang pada akhirnya menumbuhkan bibit dendam di lubuk hati yang paling dalam.

pexels-anete-lusina-5721170
pexels-anete-lusina-5721170

Keluarga penulis pernah mengalami suatu hal yang tidak mengenakkan yang diakibatkan oleh fitnah orang yang tidak suka kepada kami. Sehingga satu per satu hubungan diantara komunitas menjadi renggang. Dan itu menjadikan kekecewaan dan sakit hati yang tidak kepalang. Tetapi kami mencoba tidak membalaskan dendam secara membabi buta. Karena tidak semua babi itu buta.

Yang kami lakukan justru kebalikannya. Kami tetap mencoba mengadakan pendekatan dengan bersilaturahmi. Saat mereka mencoba menghindar dari perjumpaan dengan kami, justru kami mendekat dengan mengajak berbincang. Tidak jarang kami membawa bingkisan untuk menunjukkan itikad baik kami. Bukan untuk memperpanjang tali permusuhan. Dan pada akhirnya, apa yang kami lakukan berbuah manis, hubungan kami dipulihkan. Tanpa harus ada perkelahian ataupun sumpah serapah lewat mulut, yang bisa membuahkan dendam turun temurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun