Beberapa waktu berselang, ada sebuah kejadian di tempat tinggal kami yang cukup mengagetkan tetangga kanan kiri. Masih dalam ingatan, kami berdua masih menikmati secangkir teh dan pisang goreng yang masih hangat di senja yang romantis. Ketika tiba-tiba terdengar suara wanita yang berteriak-teriak minta tolong. Dan sontak penghuni dekat rumah terutama bapak-bapaknya segera mendatangi ke rumah sumber suara.
Sampai di tempat kejadian, ternyata seorang ibu terlihat histeris sambil menangis dan minta-minta tolong. Tidak disangka oleh kami yang mendatangi rumah ibu ini. Karena ternyata di dalam rumah terjadi perkelahian adu fisik antara kakak dan adiknya. Si kakak yang badannya agak kecilan terlihat sedang dihajar adiknya yang badannya jauh lebih gede. Baku pukul masih terus berlanjut, sekalipun tetangga kakan kiri sudah berusaha melerainya.
Dari penelusuran dan pembicaraan dengan si ibu ini, permasalahannya sebenarnya sepele. Si adik yang masih sekolah di SMA merasa bahwa pekerjaan di rumah, entah menyapu, mencuci pakaian atau mengepel lantai dikerjakan sendiri. Dan kakaknya yang mahasiswa semester dua, dianggap tidak pernah membantu pekerjaan adiknya, maupun membantu ibunya. Kebetulan suami ibu ini, memang bekerja di luar kota, dan hanya seminggu bahkan kadangkala sebulan sekali baru pulang ke rumah.
Apakah hanya karena itu ? Dari lanjutan penuturan si ibu, ternyata baku pukul terjadi karena diawali ucapan kasar si adik kepada kakaknya yang dianggap tidak peduli akan keadaan rumah. Umpatan dan makian kasar yang menyembur lewat lidah bibir laksana api yang segera menyambar uap bensin. Sehingga emosi si kakak yang barusan pulang kuliah tidak tertahankan. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa baku pukul.
Mungkin pembaca pernah melihat kapal besar yang sedang berlabuh di dermaga. Pernahkah terpikir, bahwa kapal yang sebesar gedung bertingkat hanya dikendalikan oleh sebuah kemudi yang relatif kecil ? Dan saat kapal itu berlayar melintasi lautan dengan ombak yang bergelora, kendalinya hanya di kemudi. Sebuah pertaruhan di tengah laut hanya di kemudi. Begitu juga lidah yang kecil yang dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain. Bahkan letaknyapun bukan di area terbuka. Tetapi bisa membuat kedamaian atau malah bisa membuat perpecahan.
Jadi teringat kejadian tahun dua ribu delapan belas, dimana sejumlah manusia yang terakumulasi dan diklaim berjumlah delapan juta orang yang membuat ibukota Negara Republik Indonesia ini, tepatnya di lapangan Monas di Jakarta menyatu, bisa jadi membuat kita bertanya-tanya. Ada apa ini ?
Sebagai manusia yang awam dalam hal perpolitikan, banyak muncul pertanyaan. Apakah ini selubung agenda kampanye ? Kalau kemudian ini sebagai peringatan akan kejadian Ahok, dia kan udah dipenjara ? Kalau ini dikatakan reuni, memangnya sekolahnya dulu dimana ? Dan ketika kita diperhadapkan dengan hal-hal diluar sana yang kadangkala sukar dijangkau akal sehat, kita hanya bisa mengelus dada dan berjaga agar tensi tidak ikut naik. Sekali lagi, hanya lidah yang bisa menggerakan semuanya ini.
Peristiwa masa lalu ini bisa membuka mata hati kita sendiri. Sejauh mana manusia yang diciptakan Sang Khalik dengan standar keimanan yang tinggi memiliki kasih terhadap sesama. Karena bisa jadi kitapun tidak lebih baik dari mereka. Kita mungkin sering katakan kalau kita mengasihi orang lain. Tetapi pada prakteknya masih berlawanan. Apalagi ada yang suka ngomporin dan mengipas-ngipas yang menyebabkan kompornya menjadi meledak.
Kembali juga kepada pertanyaan. Dari mana sumbernya, kalau tidak dari lidah yang tak bertulang ? Benar begitu ? Memang sejujurnya hidup dan mati dikuasai lidah, siapa yang suka menggemakannya, akan memakan buahnya. Bisa jadi hari hari ini kita diperhadapkan dengan sesuatu perkataan dari orang lain, yang membuat tekanan darah menjadi tinggi dan  detak jantung makin berdebar.
Seperti halnya rumah tempat tinggal kita yang senantiasa kita jaga dengan cara mengunci pintu rumah, agar keadaan di dalam rumah menjadi aman dan nyaman. Terhindar dari gangguan orang lain yang bermaksud jahat kepada kita. Atau bisa juga menjaga perumahan dimana kita tinggal dengan ronda keliling, yang kayaknya sekarang jarang ditemui, kecuali di desa-desa atau perkampungan yang jauh dari perkotaan.
Begitu juga dengan lidah kita yang perlu kita jagai dua puluh empat jam terus menerus. melalui hubungan komunikasi iman dengan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Karena perlu kesadaran dari diri kita, akan keberadaan sang lidah yang bisa membuat kita naik terbang tinggi atau malah jatuh terperosok ke dalam sumur kehinaan. Dengan lidah kita bisa memuji Tuhan, dan dengan lidah pula kita bisa mengutuk manusia yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Benar begitu ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H