Sewaktu penulis masih aktif berdinas dan mendengar ada aturan baru dari pemerintah tentang perpanjangan usia masa bakti buat Pegawai Negeri Sipil secara umum dari usia pensiun 56 tahun ke usia 58 tahun, yang terbit di tahun 2018, timbul pertanyaan dalam hati koq bisa ? Padahal secara fisik usia seperti itu sudah mulai mengalami fase kemunduran (cepet masuk angin, gampang pilek dan lain lain). Tetapi di satu sisi mencoba berpikir positip saja. Mungkin pemerintah punya maksud agar para Pegawai Negeri Sipil masih bisa beroleh kesejahteraan lebih.
Atau bisa jadi Pegawai Negeri Sipil jaman dulu lebih susah dalam menjalani hidup dan pekerjaannya (transportasi terbatas, misalnya) yang membuat Pegawai Negeri Sipil jaman dulu antara beban fisik dan beban kerjanya tidak seimbang. Bahkan ada anekdot yang menjabarkan PNS sebagai singkatan Pendapatan Naik Sedikit. Ketika kemudian PNS diubah menjadi Aparatur Sipil Negara / ASN sampai saat ini, itupun menjadi sebuah singkatan. Alias Agak Sedikit Naik, dalam hal pendapatan. Aha...!!
Memang, pada kenyataannya usia pensiun juga berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil selain pejabat eselon I dan II yang pada masa tahun 2018. Juga usia pensiun Pegawai Negeri Sipil non pejabat eselon I dan II yang saat itu dipatok 56 Â tahun diubah menjadi 58 tahun. Alasannya adalah meningkatnya usia harapan hidup penduduk Indonesia. Selain itu merujuk kepada rata-rata usia pensiun Pegawai Negeri Sipil di negara lain, yakni sekitaran usia 60-62 tahun.
Tetapi jujur saja, di saat penulis memasuki usia lima puluh enam tahun sampai usia lima puluh delapan tahun, ada rasa jenuh yang menyergap tatanan kehidupan secara pribadi, khususnya di dalam hal pekerjaan yang dilakukan. Apakah ini timbul karena pekerjaan yang dihadapi modelnya itu-itu saja, tidak ada variasi lain atau entahlah. Mungkin pembaca juga pernah mengalami hal yang sama di usia yang berbeda-beda. Sama-sama pernah mengalami kejenuhan yang menjenuhkan.
Di usia produktif, misalnya. Saat lulus jadi sarjana, kemudian masuk dalam dunia kerja, adalah masa-masa yang bisa disebut fase Euforia. Tetapi ketika kemudian, setelah menjalani pekerjaan yang monoton dan terus menerus tanpa variasi, timbulah dari perasaan dalam hati dan pemikiran yang mulai menggerogoti pikiran di bawah alam sadarnya. Akankah bekerja seperti ini terus sampai tua nanti. Sebuah pertanyaan yang menjadi dasar akan sesuatu yang bisa menimbulkan kejenuhan.
Atau pasangan yang menikah muda dengan sejuta impian melewati batas fatamorgana. Apa yang ada dalam ekspetasinya yang setinggi langit karena pengaruh drama korea, misalnya. Tetapi pada kenyataannya, harumnya masa-masa bulan madu terasa lewat begitu cepat. Dan diganti dengan lukisan abstrak yang nyata yang ada di hadapannya. Apalagi tidak juga diperlengkapi keturunan ilahi sebagai pengikat tali kasih keluarga. Disinilah mulai timbul rasa kejenuhan.
Kadangkala memang harus diakui secara jujur, kita tidak bisa mengelak akan adanya masa-masa kejenuhan itu timbul yang bisa berdampak pada rasa malas. Bahkan ketika kemudian kita berusaha berbuat baik kepada siapapun bisa timbul rasa menjenuhkan. Padahal berbuat baik itu, sesuatu yang baik di dalam ruang lingkup keimanan kepada Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta bukan ? Entah berbuat baik kepada orang tua, tetangga ataupun kepada sesama umat manusia. Jadi teringat sebuah pesan yang bermakna. Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.