Rasanya sudah lama tidak mendengar peribahasa ini, digenggam takut mati, dilepaskan takut terbang. Mungkin terakhir kali saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Dan ketika situasi di sekeliling kita mengalami perubahan yang begitu cepat, terlebih setelah pandemi menghantam negeri ini, kayaknya peribahasa ini menjadi sesuatu yang gimana gitu.
Mungkin ada yang lupa artinya apa ? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia peribahasa digenggam takut mati, dilepaskan takut terbang, diartikan sebagai sesuatu yanng menimbulkan rasa gelisah, kuatir, atau kacau balau. Memang rasa kuatir ataupun kekuatiran seringkali datang menyergap diri kita dan bisa terjadi di setiap saat di setiap lini kehidupan. Bahkan saat kita sedang dalam kondisi baik-baik saja, ataupun sedang merayakan pesta, bisa terjadi datang rasa kuatir secara tiba-tiba.
Barusan semalam penulis ngobrol dengan kawan-kawan yang rata-rata pengusaha. Mereka yang kebetulan bukan pengusaha yang berkecimpung di kuliner atau perhotelan, masih merasakan dampak berkelanjutan yang diakibatkan dari pandemi dua tahun kemarin. Perdagangan masih lesu karena akibat belum bangkitnya perekonomian masyarakat secara penuh. Dan buntutnya mereka merasa suatu kekuatiran untuk perkembangan usaha ke depannya.
Apalagi ada contoh di depan mata. Seorang pengusaha angkutan darat, sampai bangkrut habis-habisan. Bahkan seperti yang diberitakan di media beberapa waktu belakangan ini, ada beberapa perusahaan besar yang mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja besar-besaran. Apakah ini tidak juga menimbulkan suatu kekuatiran baru di level bawah ?
Atau mungkin timbul kekuatiran lain yang bisa dialami seseorang dengan yang lain dengan kadar yang berbeda-beda. Bisa kuatir karena tidak bisa bayar cicilan tepat waktu, atau kuatir karena sakit penyakitnya tidak kunjung sembuh. Sebuah kekuatiran yang timbul bisa jadi, akibat kesalahan dari perbuatan kita sendiri. Mungkin juga ada kekuatiran dan ketakutan akan datangnya kematian.
Jadi teringat masa kecil anak-anak kami. Ada terbersit kekuatiran, apakah mereka bisa sekolah sesuai dengan cita-cita mereka. Mengingat penghasilan orangtua hanya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada jaman itu, dan tidak bisa mengerjakan usaha sampingan. Karena memang tidak ada talenta dagang.
Bahkan kemudian timbul suatu kekuatiran tentang masa depan kami setelah pensiun. Dengan pendapatan dari hasil pensiun apakah bisa mencukupi kebutuhan setiap bulan. Belum lagi ada timbul kekuatiran tentang masa depan anak-anak yang mulai membangun rumah tangga. Apakah ke depannya mereka masih memperhatikan kami. Rasanya kalau dipikir-dipikir ini sebuah kekuatiran dan ketakutan yang sebetulnya tidak cukup beralasan. Karena ini sebuah kekuatiran yang dikembangkan dari akal pikiran kita sendiri.