Beberapa hari kemarin, di suatu pagi, saat penulis sedang mencuci mobil di rumah, tiba-tiba ada seorang lelaki yang datang dengan pakaian seadanya dan menanyakan rumah kami. Setelah dipersilahkan duduk di teras, tanpa sempat ganti baju yang basah kena air cucian mobil, kami berbincang-bincang tentang kondisi dan harga rumah kami yang memang rencananya akan kami jual. Dalam benak pikiran perbincangan kami tidak bakal lama. Tetapi tebakan penulis meleset.
Karena setiap kali penulis bicara, terlihat matanya selalu menatap, dan rasanya ada sesuatu yang dia tunggu. Sampai-sampai dalam hati bilang, ini orang koq gak pulang-pulang. Padahal sudah sekitar dua jam sudah terlewati. Ternyata dia menunggu kesempatan untuk bisa menumpahkan segenap isi hatinya tentang masalah keluarga yang sedang dihadapinya. Sekalipun tidak saling kenal sebelumnya. Sebuah kepercayaan ? Bisa jadi.
Dan karena sudah waktunya makan siang, kami menawarkan untuk dia makan sambil melepaskan ketegangan di raut wajahnya yang sudah berangsur surut. Tetapi dia menjawab dan menolak tawaran kami dengan sopan. Dia bilang bahwa barusan saja makan. Apakah ini sebuah jawaban karena perasaan tidak enak atau pakewuh, ataukah memang benar adanya. Sebuah tanda tanya besar.
Seringkali dalam kehidupan kitapun sering melakukan sesuatu hal yang boleh dikatakan mirip-mirip dengan kejadian di atas. Ditawari sesuatu tetapi ditolak dengan alasan yang kadangkala tidak masuk akal. Dan ini bisa dikategorikan dengan menipu diri sendiri. Karena pada kenyataannya, sesungguhnya dari lubuk hati yang paling amat dalam, kita sedang membutuhkan atau mengiyakan apa yang sedang ditawarkan. Ada gengsi juga yang mungkin ambil peranan di sini.
Dan tidak sedikit dari kita ternyata menyimpan berjuta rahasia bahkan kepada diri sendiri. Kita tanpa sadar sering menipu diri sendii untuk menunjukkan sisi lain kepada orang lain. Kita tidak pernah mau jujur kepada diri sendiri atas apapun yang sedang dirasakan. Sehingga lambat laun kitapun merugikan diri sendiri.
Jadi teringat waktu kami tinggal di Balikpapan sekitar tahun 1987 – 1990. Ada tetangga kami yang berasal dari daerah Menado, Sulawesi Utara. Sambil bercanda dia katakan, kalau kami punya peribahasa. Lebih baik kalah nasi asal jangan kalah aksi. Sesuatu yang kalau ditelusuri lebih dalam menyiratkan, bagaimana kemampuan menipu diri sendiri ditonjolkan atas nama keberadaan hidup untuk bisa diterima di suatu lingkungan yang heterogen. Benar begitu ?
Atau bisa jadi kita melakukan ibadah sesuai dengan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sepenuh hati. Tetapi pada kenyataannya perilaku dalam kehidupan sehari-harinya melenceng jauh dari apa yang Sang Khalik harapkan. Kejadian tindak kriminalitas ataupun melakukan pencurian dan perampokan keuangan negara yang dilakukan berjamaah, bukankah itu juga suatu tindakan penipuan diri sendiri kepada Sang Pencipta ?
Seorang kawan anak kami saat bertugas di New York, pernah melakukan tindakan nekad bunuh diri karena beban yang ditanggungnya. Bukan masalah materi. Tetapi beban pekerjaan dan tekanan psikis yang dihadapi. Dihadapan kawan-kawannya almarhum selalu berlaku ceria seperti tidak ada masalah apapun. Dan semuanya terlihat normal. Ketika kemudian setelah proses pemakaman selesai, baru ketahuan dari buku catatan hariannya, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Mungkin ini juga masuk kategori menipu diri sendiri untuk menyenangkan orang lain ?
Setiap saat kita bisa bertemu dengan semua jenis dan type orang di setiap harinya. Dan saat kita mencoba merespon, bisa jadi ini ada benarnya. Sebab kalau seorang menyangka, bahwa ia berarti, padahal ia sama sekali tidak berarti, ia menipu dirinya sendiri. Jadi jangan-jangan tanpa sadar selain kita sudah menipu diri sendiri, kita juga sudah menipu Tuhan ? Wah.... Â Â