Ketika semalam kami berdua isteri diajak kawan yang anak-anaknya sudah terpisah di luar kota karena melanjutkan study S2 nya maupun yang sudah bekerja, rasa yang timbul adalah sepenanggungan. Dua kawan kami juga hanya berdua isteri. Jadi total hanya berenam. Â Berbincang ringan di sebuah cafe yang dekat pemukiman yang padat oleh warga mahasiswa yang kost, dengan jalan masuk yang pas untuk satu mobil.
Saat melangkah masuk ke dalam cafe yang bernuansa agak tradisional dengan bangunan joglo jawa, kami sudah merasa sebagai mahluk asing yang berada di suatu komunitas yang berbeda generasi. Betapa tidak ? Seluruh meja dan kursi yang sudah hampir penuh semuanya diisi oleh mahasiswa dengan masing-masing membuka laptop di mejanya. Tidak lupa ada makanan dan minuman yang tersaji di dekatnya.
Sebuah perbedaan generasi terlihat nyata di depan mata, ketika kami mencoba mengamati sekeliling. Dengan fasilitas, dana yang berlebih dan kemajuan teknologi, begitu mudahnya mengakses bahan materi kuliah dan dengan komunitasnya begitu gampangnya berdiskusi dan bertukar pikir. Tiba-tiba terpikir sejenak, apakah generasi sekarang masih bisa merasakan dan memaknai arti sebuah peribahasa. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ataukah malah terbalik ?
Karena pada faktanya, sekian jam kami berada di cafe, rasanya kami hanya melihat sebuah tatanan dari generasi sekarang yang bisa menikmati semua yang ada. Tidak ada sedikitpun wajah-wajah yang muram karena beratnya tugas-tugas kuliah ataupun beratnya membagi-bagi uang saku untuk sekedar bertahan hidup sambil terus kuliah. Mungkin ini sampling kecil ? Bisa jadi. Tetapi ketika kami mengamati sekitar cafe, ternyata banyak juga cafe-cafe yang malam itu dipenuhi anak-anak muda yang notabene adalah kaum mahasiswa.
 Â
Pikiran ini kembali menerawang ke masa lalu. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, bisa ditebak berapa take home pay yang diterima setiap bulannya. Masih teringat ketika anak-anak masih sekolah dari Sekolah Dasar sampai yang Sekolah Menengah Atas, saat penulis bertugas di Semarang. Setiap pagi mereka menunggu uang saku dari hasil penjualan susu kedelai yang kami buat.
Bagi anak-anak mungkin ini suatu tempaan bagaimana melihat kekerasan hidup dan perjuangan hidup orang tuanya dari sudut pandang ekonomi secara keseluruhan. Namun dari sisi lain, ada sisi kemurahan yang Sang Khalik berikan, karena kami ternyata tetap bisa melewati semua, sekalipun dengan air mata. Bahkan kami tetap bersyukur karena anak-anak tetap bertahan di dalam koridor imannya yang kokoh, sekalipun dunia luar menawarkan ke-glamour-an, yang membuat setiap orang bisa tergiur dan terseret sekaligus jatuh. Memaknai ?
Beragam contoh di depan mata kita sepanjang bulan-bulan ini. Ada beberapa pejabat publik yang terseret dalam kasus kekayaan melimpah ruah yang seperti entah dari mana datangnya. Sebuah refleksi tentang peribahasa tadi. Apakah benar-benar ini menjadi kebalik. Karena yang terjadi adalah bersenang-senang dahulu, bersakit-sakit kemudian. Dan akan berakhir di penjara. Benar begitu ?