Layaknya membuka album lama yang sudah lama tersimpan. Ada kenangan yang selalu mengingatkan dalam suka dan duka, tawa dan tangis. Suatu kali anak kami yang nomor dua yang saat itu sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta dan sedang berada di semester enam, berkeinginan ikut seminar internasional yang diadakan di Cekoslowakia selama sepuluh hari.Â
Keterbatasan dana sebagai abdi negara yang berstatus Pegawai Negeri Sipil dengan posisi staf menyadarkan keberadaan kami. Saat itu kami hanya bisa katakan pada anak kami, papa mama tidak punya dana untuk itu. Tetapi demi keinginan sang anak, kami berusaha mencari sponsor untuk menanggung biaya tersebut.
Beberapa waktu berusaha semaksimal mungkin demi membahagiakan anak kami, tidak juga membuahkan hasil. Tidak lama berselang, seminggu kemudian anak kami kembali pulang ke Semarang, dengan raut wajah yang berkecamuk. Ada rasa kecewa, menyesal, marah dan sebagainya yang tertahan. Sampai akhirnya dia menangis di tempat tidur. Saat itu kami hanya bisa menghibur. Sekalipun dalam hati kami berdua sebagai orang tua, juga larut dalam kesedihan. Ketika itu istri saya hanya mengatakan, mungkin hari ini kamu kecewa, tetapi percayalah di tahun-tahun ke depan kamu akan keliling dunia sampai kamu sendiri bosan !.
Saat itu kami tidak berpikir apakah itu sebuah ramalan yang terucap ataukah sebuah nubuatan atau bukan. Karena saat itu anak kami hanya menjawab pelan, apakah aku bisa percaya dan bisa kesampaian ? Di dinding kamarnya tertempel sebuah foto berpigura kayu. Ada foto menara Pisa di Italia yang mulai miring setelah pembangunannya dimulai pada tahun 1173. Itu simbol cita-cita anak kami yang selalu memotivasi hidupnya sejak kecil.
Tidak jarang memang, ada hal-hal yang membuat kita ragu di dalam kita melangkah dan mengarungi perjalanan hidup ini. Banyak faktor yang mempengaruhi pikiran alam bawah sadar kita. Kondisi perekonomian, lingkungan keluarga bahkan lingkungan sekolah dan tempat tinggal, bisa turut andil dalam cara berpikir. Sehingga kadangkala kita seolah melupakan kuasa-Nya, dan merasa bakal tidak kesampaian apa yang sudah kita programkan.
Seperti halnya apa yang seharusnya kita bisa lakukan. Tetapi tidak dilakukan, karena kita lupa atau pura-pura lupa, bahkan melupakan untuk memperkatakan rasa syukur kepada Sang Khalik saat hari lepas hari kita sudah bisa melewatinya. Memang seringkali kita terjebak dan merasa di atas angin, ketika semua sudah ada di genggaman. Tidak adalagi rasa syukur kepada Yang maha Kuasa atas semua yang terjadi, yang sedia-Nya sudah turut campur di dalam sendi-sendi kehidupan kita.
Seringkali kita hanya berfokus kepada apa yang ada, dan diperhadapkan dengan hal-hal yang membuat kita bertanya, tanda apakah yang Engkau perbuat, supaya dapat kami melihatnya dan percaya kepada-MU ? Inilah yang seringkali menjadi titik kelemahan kita, bahkan bisa menjadi batu sandungan dalam kita menapak dan mengiring di dalam koridor keimanan kita kepada Tuhan.
Kalaupun sekarang anak kami yang nomor dua, sudah bisa kesampaian berkeliling ke berbagai Negara di dunia, saya percaya bahwa itulah yang diawali dengan tindakan di dalam koridor keimanan. Diawali dengan pertukaran mahasiswa di Praha selama 9 bulan, rasanya itu menjadi lompatan jauh ke depan yang tidak pernah diduga apalagi membayangkannya.