Siapa saja tahu bahwa hidup adalah pilihan. Dan setiap hari kita senantiasa diperhadapkan dengan pilihan-pilihan yang mau tidak mau harus segera diambil keputusan. Entah di dalam lingkup pekerjaan, rumah tangga, keuangan, kesehatan, ataupun hal lain. Bahkan saat baru bangun pagi hari dari istirahat semalampun sudah diperhadapkan dengan pilihan. Persis lagu anak-anak jaman tempo dulu. Bangun tidur kuterus mandi, tidak lupa menggosok gigi. Habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku.
Apakah benar seperti itu pilihan anak-anak jaman sekarang ? Bukannya bangun tidur segera cepat-cepat langsung pegang hape ? Boro-boro bantu ibu yang lagi kerepotan di dapur. Sebuah sketsa kehidupan yang berjalan terus seolah menjadikan sebuah pembiaran karena situasi kondisinya memang harus begitu. Dan itu kembali lagi akan sebuah pilihan.
Kita memang tidak lepas dari sebuah kenyataan yang terang benderang, bahwa manusia tidak berkuasa untuk menentukan jalannya, dan orang yang berjalan tidak berkuasa untuk menetapkan langkahnya. Karena sejatinya yang pegang kendali atas hidup kita adalah Tuhan semesta alam. Tetapi justru disitulah seringkali terjadi kebingungan di dalam menentukan sebuah keputusan yang seharusnya segera diambil, karena tanpa melibatkan Sang pemegang otoritas.
Memang, jujur saja, kadangkala bahkan mungkin sering, kita diperhadapkan dengan kerancuan, galau dan kebingungan saat tiba-tiba harus mengambil sebuah keputusan dalam kurun waktu yang mendesak. Apakah putusan yang diambil segera berdasarkan dari suara mayoritas ataukah dari suara minoritas, untuk sebuah masalah yang pelik.
Bisa jadi pada saat itu kita sedang berdiskusi dengan keluarga besar, komunitas atau sebagai pemimpin rapat dalam sebuah perusahaan ataupun sedang menghadapi sekelompok masa pendemo yang tidak setuju dengan sebuah kebijakan yang dibuat oleh sebuah instansi. Â
Yang menjadi persoalan kadangkala kita terbawa arus akan suara mayoritas yang seakan-akan membenarkan sebuah kenyataan dengan memberi suara yang bernada positip, tetapi justru menjebak kita dalam pelaksanaannya ? Pilihan keputusan harus segera diambil, sekalipun kemudian akan terjadi kata sepakat untuk tidak sepakat .
Â
Masa-masa memasuki kehidupan berumah tangga dengan pola pikir yang mengacu pada bibit, bebet dan bobot bisa menjadikan sebuah pemahaman. Ketika kedua keluarga besar bertemu dengan berpandangan sesuai asumsi di atas untuk menentukan lancarnya sebuah perkawinan, apakah kemudian itu menjadikan sebuah kegagalan ? Belum tentu juga. Karena pada akhirnya akan kembali kepada siapa yang akan melangsungkan pernikahan tersebut. Ini bukan pilihan ganda. Tetapi sekali lagi hidup adalah pilihan.
Â
Bahkan seperti halnya jabang bayi yang dilahirkan dari seorang ibunya yang berangsur tumbuh dewasa. Seberapa jauh kedua orangtua mengasuh dan membimbing sang anak untuk bisa bertumbuh dalam iman yang kuat kepada Tuhannya akan berpengaruh kepada mental dan kejiwaan anak tersebut. Kembali pilihan diperhadapkan. Apakah akan memegang keimanan yang kuat atau malah lari dari kenyataan karena sesungguhnya hidup bukanlah coretan warna warni  yang tanpa arti.
Sama halnya ketika berlangsung pada musyawarah pembebasan lahan untuk sebuah proyek strategis nasional. Permasalahan yang terus berulang adalah pada saat penentuan uang ganti untung yang seringkali tidak bisa diterima oleh warga pemilik tanah. Karena masih dianggap harganya terlalu rendah dari nilai ekspetasi sesuai harapan warga pemilik tanah. Kebekuan dan tarik ulur ini menjebak dalam sebuah pilihan yang sulit, karena dicampur beberapa kepentingan. Akibatnya pilihan kata sepakat untuk tidak sepakat terus terjadi. Â Â