Beberapa waktu yang lalu sebelum dimulainya bulan puasa Ramadhan bagi orang muslim, tiba-tiba anak kami yang bontot bicara lewat telepon. Dia memberi tahu kalau nara sumber buat skripsinya tiba-tiba menolak untuk dijadikan sumber referensi. Padahal judul skripsi, kerangka dan beberapa bab sudah disetujui dosen pembimbing. Mau tidak mau  anak kami harus bikin alternative lain.
Ibaratnya dimulailah lagi perjalanan dari matahari terbit. Melakukan konsultasi dosen dari awal lagi, ubah judul skripsi, ubah nara sumber dan ubah kerangkanya. Luapan nafas yang memburu sebagai ada tanda nada marah, kecewa dan putus asa sangat berasa di ujung telepon. Karena memang tidak semudah membalik tangan dalam waktu dekat untuk membuat lagi draft skripsi buat diajukan lagi. Waktu dan energi yang terbuang, belum lagi dana.
Saat itu kami sebagai orang tua, yang bisa kami lakukan hanya bisa menghibur dan membesarkan hati anak ragil kami. Dan tentu saja berdoa kepada Tuhan meminta segala kemudahan buat anak kami dengan dasar pengandalan keimanan yang kami miliki. Dan saat itu kami hanya bisa berkata, papa mama setiap malam ngedoain buat anak-anak dan memberkati kalian. Kami juga ingatkan agar anak kami juga tidak mengandalkan dirinya sendiri. Karena di atas langit masih ada langit.
Jadi rasanya tidak mungkin kalau tidak ada mujizat dari Sang khalik, kecuali kalau anak kami berpola pikir praktis dan sistematis dengan hanya mengandalkan diri sendiri dan tidak mau bergantung dengan Sang Pencipta. Karena kemudian terbukti, sebelum libur lebaran anak kami sudah memberi tahu, kalau skripsi yang baru dengan judul baru dan kerangka yang baru sudah disetujui Dosen pembimbing. Bahkan sudah mulai masuk ke bab II. Sebuah waktu yang boleh dikatakan singkat untuk sebuah perubahan.
Berkaca dengan maju mundurnya perjalanan kehidupan dengan sudut pandang dari sisi jasmani maupun rohani dapat menimbulkan sebuah pertanyaan yang menarik. Bagaimana dengan kita ? Karena sejujurnya seringkali dalam mengarungi lautan perjalanan bahtera kehidupan, kita diperhadapkan pada satu posisi, dimana rasa kuat dan mampu menjadikan diri kita seolah di atas segalanya.
Yang banyak terjadi di sekeliling kita adalah rasa pengandalan diri yang melebihi batas kekuatan dibanding dengan akan rasa ketergantungan kepada Yang Maha Kuasa. Ya atau ya ? Ini hal yang jamak. Seringkali, tidak hanya kadangkala saja, kita berpikir bahwa apa yang sudah kita lakukan benar, dari sudut padang subyektif. Tetapi kenyataannya, pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang di luar pemikiran kita, bahkan menjadi kebalikannya.
Di sisi lain kita melihat bagaimana orang lain dengan pola pikir dan pola hidup yang amat sederhana melintasi padang gurun kehidupan, tetapi mempunya satu hal yang luar biasa. Mengapa ini bisa terjadi ? Disinilah letak perbedaan dari sudut pandang kacamata manusia dengan kacamata Tuhan.
Karena biasanya, setelah orang menjadi kuat dan berhasil dalam taraf kehidupan melebihi strata yang ada, orang tersebut menjadi tinggi hati sehingga dapat melakukan hal yang merusak. Bahkan bisa terjadi perubahan drastis dalam dasar-dasar keimanannya yang sudah menjadi pakemnya, sehingga berubah setia kepada Sang Pencipta. Dan menganggap semua sudah bisa dilakukan lewat genggamannya.