Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emosi

26 Januari 2023   10:35 Diperbarui: 26 Januari 2023   10:41 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-nandhu-kumar-312839 (1)

Begitu kuat tekanan yang dihadapi dalam masa-masa kesulitan ekonomi seperti sekarang ini bisa jadi sebagai alasan banyak orang untuk berbuat nekad. Pengurangan tenaga kerja di beberapa sektor, menjadi salah satu penyebabnya. Tingkat pengangguran bertambah ketika semakin banyak lulusan yang memasuki dunia kerja, sedangkan industri dunia kerja makin selektif dengan era digital, menambah beban tekanan hidup.

Ketika hal ini terjadi dalam kungkungan rumah tangga, bahkan karena merasa tidak lagi saling mendukung di dalam rumah tangga, membuat banyak orang semakin frustasi. Suami tidak lagi berkomunikasi dengan baik dengan istri dan sebaliknya. Begitu juga pertentangan antara orang tua dan anak-anaknya. Orang tua semakin masa bodoh dengan perkembangan hidup anak-anaknya. Sebaliknya anak-anak makin hidup liar untuk mencari jati dirinya sendiri, menjadi penyulut emosi di tengah keluarga. Dan ini menimbulkan keributan yang tidak ada ujung pangkalnya. Seperti layaknya guci keramik yang pecah berantakan, sulit untuk dipersatukan kembali.  

Bisa dibayangkan, seandainya kita menjadi tukang keramik yang membuat  dan membentuk perlahan-lahan dari segenggam tanah liat untuk menjadi sebuah tempayan yang diimpikannya. Tetapi di saat finishingnya, tiba-tiba mendapat kabar yang tidak mengenakkan, yang bisa menyulut emosinya. Sehingga tanpa sadar dibantingnya tempayan sampai pecah berkeping-keping. Sebuah kalimat panjang tersusun. Seperti kehancuran tempayan tukang periuk yang diremukkan dengan tidak kenal sayang, sehingga di antara remukannya tiada terdapat satu kepingpun yang dapat dipakai untuk mengambil api dari dalam tungku atau mencedok air dari dalam bak.

pexels-ksenia-chernaya-6909897
pexels-ksenia-chernaya-6909897

Memang perlu adanya pengendalian emosional dalam diri masing-masing pribadi. Sebab selayaknya tempayan yang sudah pecah berkeping-keping, akan sulit direkatkan kembali untuk menjadi sebuah tempayan yang utuh. Perlu sekali adanya kesabaran, ketelatenan, kerendahan hati, mau menerima uluran tangan sesama. Tidak mudah bukan ?  Dan tentu saja memerlukan proses waktu yang panjang. Dan ketika yang diperumpanakan itu adalah sebuah kehidupan berumah tangga yang berantakan menjadi serpihan-serpihan, apakah yang akan terjadi dalam keluarga tersebut ? Bisa dibayangkan...

 Berkaca dari kejadian-kejadian di sekeliling kita yang bisa jadi hidup jauh dari kesabaran dan keimanan kepada Tuhan, rasanya bersyukur sekali, kalau kita masih memiliki benteng keimanan yang bisa diandalkan. Mengapa ? Karena setiap langkah dan tindakan yang akan kita lakukan, senantiasa dikontrol oleh-Nya. Apalagi mengambil tindakan dengan penuh emosi, yang bisa menimbulkan dampak negatif dan perbuatan dosa di kemudian hari. Tuhan mengajarkan kepada kita, sekecil apapun dosa yang kita lakukan, kita harus segera bertobat dan minta pengampunan.

pexels-pixabay-55814
pexels-pixabay-55814

Sebuah pembelajaran dari tukang tempayan. Pergumulan hebat apapun yang sedang kita hadapi, jangan pernah ambil putusan, saat sedang dalam kondisi emosi. Biarkan hati kita tenang terlebih dahulu. Karena dalam situasi tenang, semuanya bisa teratasi dengan baik dan tidak menimbulkan huru hara. Karena dengan tinggal tenang dan percaya kepada Sang Khalik seutuhnya, maka disitulah letak kekuatan kita untuk menghadapi semua masalah.

pexels-nandhu-kumar-312839 (1)
pexels-nandhu-kumar-312839 (1)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun