Beberapa tahun lalu sebelum Covid-19 menerjang negeri ini, ada seorang anak muda dari Indonesia yang digadang-gadang bisa menjuarai lomba balap formula tingkat dunia atas nama Indonesia. Berulang kali mencoba mengikuti beberapa turnamen internasional, ternyata berulang kali gagal menembus urutan 10 besar. Dia coba ikuti lagi beberapa turnamen, tetapi tetap saja mentok. Ada saja kendala yang dihadapinya.
Secara teoritis dan teknologi yang baku, seharusnya dia sudah bisa menjadi juara. Sertifikat ketrampilan mengemudi sudah dikantongi dan juga sudah diasah dan dilatih oleh pelatih handal sedemikian rupa. Secara hitungan finasial, sudah berapa banyak uang yang dihabiskan oleh donatur dan sponsor dari negeri ini buat menyokong prestasinya. Begitu juga sokongan teknologi yang sudah dia persiapkan di arena balap, mulai dari tim yang solid sampai mesin mobil yang mumpuni.
Hasilnya ? belum juga nampak, bahkan ada kemungkinan dia bisa keluar dari ajang bergengsi ini. Karena secara statistik, trennya justru terlihat stabil, malah cenderung menurun. Upaya-upaya sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak untuk bisa mendongkrak dan menaikkan prestasinya. Tetapi tetep saja jeblok di arena.
Di sisi lain, ada orang yang boleh dikatakan sudah cukup umur, namun berulang kali bisa menoreh prestasi baik skala nasional maupun internasional. Bahkan boleh dikata tanpa ada dukungan sponsor yang handal maupun donatur dadakan, ataupun teknologi yang hebat. Tetapi di atas semuanya, dia bisa menunjukkan kepada kita semua keberadaan prestasinya.
Berkaca dari kejadian di atas, siapa yang salah, siapa yang benar ? Kedua-duanya tidak bisa disalahkan dan juga dibenarkan. Karena seringkali dalam perjalanan hidup yang kita jalani, sekalipun dengan pengandalan iman, kita banyak mengalami banyak persoalan. Dua contoh kasus di atas itulah yang kadangkala kita tidak mengerti jalan-Nya. Ada yang yang sudah siap segalanya, tetapi ternyata gagal. Sebaliknya, yang biasa-biasa saja ternyata berhasil.
Lalu ada apa dibalik semunya itu ? Besar kemungkinan yang terjadi dalam proses ini adalah faktor kesombongan dan jumawa. Dan menganggap remeh atau bahkan mengesampingkan peranan Yang Maha Kuasa . Rasa pengandalan diri yang begitu besar dan mengesampingkan peranan Sang Khalik menjadikannya sebuah bumerang akan sesuatu yang sedang diidamkan. Karena di atas semuanya, Tuhanlah yang akan memberi kemenangan kepada lawan-lawan kita.
Memang antara kesombongan dan percaya diri bisa dikatakan beda-beda tipis. Istilahnya sebelas duabelas. Ketika tanpa sadar kita mengatakan, saya gak sombong kalau bisa mendapatkan gelar juara ini, saat itulah sebenarnya kita sedang sombong. Sebaliknya saat kita katakan, gelar juara ini bisa ada di tangan, itu karena anugerah Sang Pencipta, itulah yang dikatakan percaya diri.
Bisa jadi hari-hari ini kita sedang melalui ajang turnamen di dalam proses kehidupan. Entah itu bertanding dengan masalah keuangan, masalah pekerjaan, masalah sakit penyakit atau masalah keluarga yang membelit. Apakah mau jadi pemenang atau cukup jadi pecundang ?