Beberapa waktu yang lalu saat saya berada di Jakarta, saya sempetin bertemu dengan kakak istri. Ngobrol banyak tentang aneka pengalaman. Kebetulan dia sudah turun dari kapal. Dia bercerita banyak tentang suka dukanya hidup sebagai kapten kapal laut. Tidak hanya tips-tips bagaimana saat menghadapi gelombang besar agar tidak mabuk laut. Karena saat gelombang besar datang menerjang, orang cenderung tumpah-tumpah dan tidak mau makan yang mengakibatkan perut menjadi kosong. Tipsnya cukup sederhana, dan mungkin bisa langsung diuji cobakan, kalau sedang mabuk laut. Cukup ambil nasi putih secukupnya, taruh digelas, tuang air panas, diaduk dan langsung disantap.
Dia juga bercerita bagaimana perjuangannya melawan ABK (anak buah kapal) dengan segala tingkah lakunya, yang sering menjual minyak atau gas di tengah laut. Kebetulan kakak isteri saya dipercaya sebagai kapten kapal yang sering membawa minyak dan gas. Perbuatan melawan hukum ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan merugikan negara ber-triliun-triliun rupiah, tanpa ada yang bisa mencegah. Dan yang lebih parahnya penyakit ini sudah turun terumun.
Bersyukur sekali, kakak istri adalah seorang yang teguh dalam iman, sehingga dia berani menolak saat ABK membujuk untuk menjual minyak haram di tengah laut. Bahkan dia berani katakan kepada ABK, kalian boleh menjual minyak/gas, asal jangan di kapal yang saya pegang. Dalam kondisi seperti itu, akhirnya setahun kemarin, setelah bertahun-tahun sebagai kapten kapal, dia putuskan untuk turun dari kapal dan menanggalkan jabatan kapten kapal, daripada hidup dengan diperhadapkan hal-hal yang tidak benar di depan matanya.
Putusan itu harus segera dia ambil, daripada jiwanya terancam oleh ABK sendiri. Mengapa ? Bisa dibayangkan kalau ada satu orang jujur yang hidup di tengah-tengah orang atau kelompok yang suka sekali hidup dengan keserakahan dan kekotoran, bisa-bisa mayatnya dibuang di tengah laut.
Sekalipun rasanya hidup dengan berpautan dengan keteguhan iman dengan kejadian-kejadian di atas bertentangan dengan hati nurani murni, yang dialami oleh kakak istri saya. Tapi satu hal dia lakukan adalah tindakan yang dia pilih. Dia berani bayar harga, untuk bisa tetap hidup dalam damai dan melanjutkan perjalanan kehidupannya dengan tenang. Tanpa ada ketakutan di masa depan, akibat pelanggaran yang dilakukan. Sekali lagi Gusti mboten sare....
Bercermin cerita di atas, rasanya adalah tidak mungkin Tuhan memberikan kehidupan kepada kita dengan berlimpah dengan cara-cara yang tidak layak dan tidak berkenan di hadapan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan sekarang, bagaimana dunia makin hari makin kejam dan tidak mau peduli dengan siapapun.
Pertanyaannya sekarang sampai seberapa beraninya kita bayar harga untuk hidup benar dan berkenan di hadapan Sang Khalik ? Kondisi lingkungan, tuntutan hidup bergengsi, bahkan kesempatan yang ada di depan mata, sekalipun dalam kesempitan waktu yang ada. Semua bisa mengubah karakter seseorang. Kebenaran hakiki yang seharusnya diugemi, berganti menjadi abu-abu. Dan kesalahan fatal bisa dipuji sebagai kebenaran yang absolut. Memang hidup adalah pilihan, mau hidup baik atau ikut hidup dalam kejahatan. Â
Satu hal yang harus kita lewati adalah, tetaplah mengucap syukur dalam segala kondisi apapun, bahkan saat kita ambil putusan yang kontroversial dari sisi kacamata orang lain, karena bisa jadi itu yang sedang Sang Khalik rancang buat kehidupan kita ke arah yang lebih baik. Berani bayar harga ?