Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tabur...Tuai....

14 Januari 2023   12:00 Diperbarui: 14 Januari 2023   12:15 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-khaled-akacha-5156792

Pada waktu Bapak mertua (almarhum) masih hidup, beliau banyak sekali menampung anak-anak muda dari kampungnya, dari seberang pulau nun jauh di sana, di rumahnya. Entah saudara atau bukan. Bahkan tidak hanya menampung, bahkan juga menyekolahkan mereka. Ada yang bisa lulus dan melanjutkan bekerja, ada pula yang sudah berhasil lulus sekolah kembali ke kampung halamannya. Ada juga yang tetap bergabung dengan keluarga Bapak Mertua.

Tentu saja tidak semuanya kembali ingat akan kebaikan Bapak mertua saya. Tapi satu hal, kalau Bapak mertua saya ditanya, kenapa mau melakukan semua itu ? Beliau hanya menjawab, suatu saat kalian anak-anak Bapak, dimanapun kalian hidup, Bapak percaya kalian tidak akan terlunta-lunta. Saat itu anak-anaknya belum bisa menterjemahkan arti perkataan Bapaknya. Tetapi setelah sekian waktu berselang, baru tahu arti semuanya itu. Dan itu terbukti.

Alkisah, suatu saat ada seorang Raja yang meninggal dan mewariskan segala kekuasaannya kepada anak sulungnya. Nah anak sulung ini tidak melakukan suatu hal yang baik dan benar seperti yang dilakukan mendiang ayahnya. Bahkan untuk memperkuat posisinya sebagai seorang raja, dia malah membunuh seluruh adik-adiknya yang berjumlah enam orang. Tidak itu saja. Si Sulung ini bahkan juga membunuh semua pembesar, pejabat dan staf ahli kerajaan. Semuanya dihabisinya.

Ketika saya membaca kisah ini, saya menduga kenapa si sulung tega membunuh semua saudara kandungnya, bahkan seluruh kerabat kerajaan. Hal ini bisa jadi karena ketakutan dan kuatirnya, kalau suatu saat adik-adiknya bersekutu dengan dewan penasehat raja dan para pejabat teras yang merasa tersingkir, untuk  membuat partai oposisi. Yang akhirnya bisa mengancam kedudukannya dia sebagai raja. Bahkan terlebih lagi dia membebaskan warganya untuk kawin cerai dan berzinah dengan siapa saja. Termasuk menyuburkan perilaku lesbian dan homoseksual.

Jadi lengkaplah sudah ketika terbentuk sebuah kesesatan ajaran. Disinilah awal dari malapetaka, karena dia tidak menduga sama sekali, bahwa semua perbuatannya ini bisa berdampak pada kehidupannya dimasa depan. Seperti pepatah katakan “ Siapa menabur angin akan menuai badai”.

pexels-binyamin-mellish-169523
pexels-binyamin-mellish-169523

Apa yang terjadi kemudian ? Bisa ditebak. Ketika Tuhan dipermainkan dengan balutan kekejaman, maka pepatah Jawa Gusti mboten sare berlaku. Sang Khalik akan bertindak dengan ADIL. Semua yang salah harus dihukum. Apa yang si sulung  lakukan di masa kejayaannya memegang tampuk kerajaan, dihempaskannya kehidupannya sampai ke titik nadir. Semua harta kekayaan habis, bahkan anak dan istrinyapun dibawa oleh para musuh-musuhnya.

Tidak cukup sampai disitu. Dia menderita penyakit usus yang tidak bisa disembuhkan, sampai kematiannya. Bahkan saat kematiannyapun, rakyat tidak lagi menaruh hormat padanya. Fatal bukan ?

Kembali belajar dan berkaca dari perjalanan akan proses kehidupan yang terus bergulir. Bagaimana hidup kita ditentukan dari taburan kita. Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai kelak di kemudian hari. Sebab barangsiap menabur dengan keserakahan dan menuruti hawa nafsunya, ia akan menuai kebinasaan dari segala sepak terjangnya. Tetapi barangsiapa menabur dalam kebaikan dan dengan keihklasan, maka ia akan menuai hidup yang baik setara dengan amal perbuatannya.

Kebanyakan orang tidak lagi peduli dengan segala perbuatannya di tengah situasi ekomi global yang memburuk. Semuanya bertumpu ke ego centris. Tidak lagi perlu menanyakan kepada sesama. Apa yang kamu makan hari ini ? Tapi yang terpikir adalah siapa yang bisa gua makan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun