Mohon tunggu...
Herman Utomo
Herman Utomo Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

mencoba membangkitkan rasa menulis yang telah sekian lama tertidur... lewat sudut pandang kemanusiaan yang majemuk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ikan atau Pancing?

9 Januari 2023   10:55 Diperbarui: 9 Januari 2023   11:04 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-brian-forsyth-10583788

Sebuah ketakutan yang dihadapi para pekerja di sektor swasta adalah apabila mendengar kata PHK. Seperti hal nya cerita anak saya yang pertama, seorang temannya yang baru beberapa bulan menikah, tiba-tiba di PHK dari tempat pekerjaannya. 

Bisa dibayangkan bagaimana kalutnya. Karena dia baru saja ambil kredit rumah dan istrinya juga sedang mengandung. Lebih kalutnya lagi, istrinya juga ikutan di PHK dari kantornya tempat dia bekerja. Bisa dibayangkan kalau hal ini menimpa diri kita.

Kadangkala kondisi-kondisi seperti ini yang diperhadapkan di depan mata kita, memancing reaksi hati kita. Bisa positif atau negative. Tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. Bisa saja kita berpikir positif. 

Dengan berpikir, apa yang dialami dia yang sedang mengalami PHK, adalah ujian untuk jenjang yang lebih baik. Tetapi sebaliknya kita bisa punya pikiran negatif. Karena dia adalah seteru kita. Jadi bisa jadi kita bersyukur apa yang sedang dialaminya.

Persoalan sebenarnya tidak hanya berhenti sampai disitu sebagai respon terhadap korban PHK. Apa yang bisa kita bantu saat saudara kita sedang mengalami persoalan berat seperti itu ? Karena sejatinya bukan hanya masalah PHK saja, banyak masalah yang diperlihatkan di depan mata kita setiap harinya, di lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan. Begitu banyak persoalan yang membuat hati kita bergejolak.

Respon memberikan pertolongan kepada siapa saja yang sedang dalam kondisi jatuh, harusnya sudah bisa diantisipasi sejak awal. Namun seringkali tanpa sadar, ego kita maju lebih dulu dari rasa iba kita. 

Dengan kata lain, kita sering masih memilih-milih siapa yang perlu dibantu. Apakah itu saudara kandung, saudara sekampung, atau saudara seiman. Ini sebenarnya yang membatasi ruang gerak kita sendiri. Karena belum lagi tuntas dalam memberikan pertolongan sudah ada pengkotak-kotakan.

Begitu juga saat sudah bersepakat antara ego dan hati. Kita diperhadapkan dengan tata cara memberikan pertolongan. Banyak orang yang beranggapan, memberikan pertolongan kepada yang sedang kritis adalah dengan cara memberi apa yang sedang mereka butuhkan. Tidak salah memang, memberikan ikan sebagai uluran tangan secara instan.

Ada juga yang beranggapan, bahwa tidak hanya saat itu saja memberikan pertolongan yang sedang dibutuhkan. Tetapi kita ajak berpikir kepada mereka untuk lepas dari ketergantungan. Inipun tidak salah, memberikan pancing sebagai bantuan berjenjang, sampai orang yang memerlukan pertolongan, kembali bisa mandiri.

Memberikan nasi bungkus kepada korban banjir itu bagus, karena bisa langsung dimakan. Tetapi kalau yang diberikan mie instan atau beras, kita harus juga berpikir, mereka mau masak dimana dengan kondisi seperti itu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun