Teringat masa lalu, bagaimana seorang tokoh fenomenal yang memimpin Jakarta dengan segala sepak terjangnya dan bagaimana orang bisa melihat visi ke depannya buat Jakarta, kita sudah bisa membayangkan. Mungkin kita tidak kenal secara dekat, kita hanya tahu lewat pemberitaan media. Tetapi bagaimana dengan sisi yang lainnya ? Bagaimana dengan sikap tegasnya dan "bersih"nya, membuat blok diantara warganya. Ada yang pro dan kontra. Dan itulah konsekuensi seorang manusia yang diberi anugerah sebagai seorang pemimpin.
Dari basicnya yang mencoba menegakkan kebenaran, membawa misi dan visi buat Jakarta dengan hitam putihnya. Memang kalau kita memonitor lewat berita, kita bisa merasakan, seandainya kita yang jadi beliau. Mau kerja bener tapi malah diserang kanan kiri, dijegal bahkan malah jadi tidak disukai orang-orang di sekitarnya. Dari kacamata saya pribadi, satu hal yang terberat buat beliau adalah menjaga konsistensinya sebagai aparat yang bersih sekaligus sebagai anak terang di lingkungannya yang abu-abu bahkan cenderung gelap.
Orang mungkin banyak yang berseberangan dengan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Bahkan bisa jadi banyak rancangan-rancangan jahat dengan rencana liciknya untuk sebisanya menjatuhkan dia, yang dilakukan oleh sekelompok orang. Kadangkala memang posisi kebaikan seseorang bisa menjadi sasaran tembak untuk orang yang berlawanan dengannya. Tidak selamanya orang baik diterima di lingkungannya.
Bahkan orang sekaliber nabipun bisa mengalami hal yang sama, seperti yang tertulis dalam kitab suci. Seorang nabi dihormati dimana-mana, kecuali di tempat asalnya sendiri dan di rumahnya. Ini bisa membuktikan ketika kepribadian dan karakter seseorang yang menonjol dengan lingkungan yang amburadul dan sudah menjadi tatanan kehidupan yang terlanjur nyaman dan mapan, bisa mengakibatkan kondisi lingkungan berubah, saat uji coba kebaikan diluncurkan. Tidak perlu dengan ragam aplikasi yang bisa di download. Tetapi langsung dipraktekkan di lapangan.
Di sisi lain, sering kita mendengar kata integritas dan konsistensi. Persoalannya apakah ini hanya sekedar tameng di mulut tanpa di dasari dengan kesungguhan hati. Beberapa waktu lalu, ketika seseorang akan menjabat di sebuah posisi dengan menduduki kursi yang empuk, akan disodori format pakta integritas. Dan mau tidak mau harus menanda tangani pakta interitas tersebut, dengan segala konsekuensinya. Faktanya kemudian adalah, tidak sedikit yang akhirnya terjungkal dari kursinya karena kesandung pakta integritas itu sendiri. Yang menjadi persoalan adalah, apakah pakta integritas ini menjadi petunjuk arah isi hati dan jiwa, ataukah hanya menjadi petunjuk arah di dalam pikiran saja ?
Ketika yang ada dalam benaknya hanya pikiran saja, maka yang terjadi di kemudian hari adalah pemutar balikkan fakta. Yang benar jadi salah, dan yang salah jadi benar. Karena pada dasarnyapun, awal kebaikan sudah didahului dengan kecurigaan. Koq bisa ? Bisa saja. Coba kalau kita sedang berjabat tangan sebagai awal berkenalan dengan seseorang yang baru kita temui dan baru kita kenal. Apa yang ada dalam tatapan mata, Â pikiran dan hati kita? Sepersekian detik akan terlintas dalam pikitan,ini orang baik atau orang jahat ? Curiga ?
Jadi sejujurnya bukan hanya seorang pemimpin saja yang mengalami proses jatuh bangun dari serangan tanpa bayangan. Ternyata tanpa kita sadari, kita juga sedang hidup di lingkungan, dimana kita sedang dalam sasaran tembak. Baik itu di lingkungan sekeliling rumah maupun lingkungan pekerjaan. Karena saat kita bermaksud baik buat orang lain, belum tentu orang di sekeliling kita mengerti akan maksud baik kita. Dan itu bisa menjadi jurang pemisah yang bisa menimbulkan perpecahan. Benar begitu ?
Pertanyaannya sekarang adalah, siapkah kita menjalani hidup dengan konsisten dalam kebenaran hati dan jiwa sesuai ke-iman-an kita, dan menjadi pemenang di tengah kehidupan yang hiruk pikuk seperti ini ? Â Â Â