Mohon tunggu...
Hermanto Hermanto
Hermanto Hermanto Mohon Tunggu... -

Hanya sebutir pasir ...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yesus dan Roti

15 Desember 2009   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Beberapa kali Yesus berbicara tentang “roti,” dan sangat menarik untuk melihat lebih dalam signifikansi dari hal ini. Saking pentingnya masalah “roti” ini sampai2 hal ini dimasukkan dalam Doa Bapa Kami.

“Berilah pada kami hari ini roti harian kami (our daily bread)”

Beberapa hal yang dapat kami tangkap dari kalimat ini adalah:


  1. Di sini ditunjukkan bahwa Yesus adalah tokoh yg peduli akan kebutuhan pokok manusia. Bagi Yesus, Tuhan tidak menutup mata bahwa manusia memiliki kebutuhan2 seperti ini untuk kelangsungan hidupnya. Dia pernah mengatakan, ”Tuhanmu tahu kalau kamu membutuhkan semuanya ini …” Di sini kami melihat bahwa dalam worldview Yesus, Allah itu adalah Allah yang bersifat peduli akan kebutuhan pokok.
  2. Di sini kami melihat Yesus memberikan pengakuan akan ketergantungan manusia pada kebutuhan pakan pokok. Ini menjadi menarik mengingat Yesus adalah juga tokoh yang pernah mengatakan bahwa “manusia hidup tidak hanya dari roti” dan dia juga adalah tokoh yang menolak mengubah batu menjadi roti meskipun kelaparan dan dia bisa melakukannya. Jika dua hal ini dipasangkan, maka terlihatlah adanya dua level yang berbeda. Level yg lahiriah, yakni manusia yang tergantung pada makanan untuk survivalnya. Level spiritual, dimana manusia menyadari bahwa hidup bukan hanya urusan roti, dan ada kalanya mengorbankan pemenuhan kebutuhan akan roti demi sesuatu yang lebih mulia. Hal ini membantu kami untuk meletakkan masalah roti/kebutuhan pokok/survival dalam perspektif rohani Yesus. Diri sendiri tidak terikat pada roti, tapi memaklumi bahwa manusia terikat pada roti.
  3. Kata “berilah” di sini menunjukkan bahwa dalam worldviewnya, Yesus percaya bahwa Tuhan itu berkuasa untuk memenuhi kebutuhan pokok tsb. Dia tidak meragukan Tuhan. Dan menurutnya, Tuhan adalah tempat yang tepat untuk meminta berkenaan dengan hal ini. Di sini ada intervensi dari yang rohani terhadap yang lahiriah. Kata intervensi mungkin berkesan terjadi sesekali. Kelihatannya yang dimaksud oleh Yesus bukan demikian, namun sesuatu yang menjadi hukum kehidupan. Jadi, yang rohani ini bukan sesekali mengintervensi, namun yang rohani ini adalah landasan / dasar / latar dari yang lahiriah ini, dan interaksi keduanya begitu dinamis. Yang lahiriah tidak bisa dipisahkan dari yang rohani.
  4. Kata “hari ini (today)” menunjukkan cara berpikir Yesus yang melihat kehidupan dalam time frame “hari ini.” Dia tidak mengajarkan manusia untuk meminta buat keperluan besok, atau lusa, atau tahun depan. Hanya hari ini. Hal ini sangat bertentangan dengan praktek kehidupan manusia sekarang, yang ingin menabung sebanyak mungkin untuk memastikan tercukupinya kebutuhannya di masa mendatang, bahkan jika bisa, kebutuhan anak cucunya turun temurun. Mungkin jika Yesus ditanya besok akan makan apa, dia akan menjawab “nggak gua pikirin.” Seorang tokoh yang menarik, meski kami belum tahu apakah dapat menyetujuinya atau tidak. Kelihatannya dalam worldviewnya, Allah adalah Allah yang menginginkan manusia menghidupi hidupnya hari demi hari saja sepenuhnya, tanpa terlalu merisaukan urusan besok atau masa depan. Setuju/tidak setujukah?
  5. Frase “roti harian (daily bread)” bagi kami memiliki nuansa pengertian yang menarik. Kami menangkap nuansa pengertian bahwa ini adalah kebutuhan pokok yang sangat mendasar, yang cukup untuk survival. Ini bukanlah roti yang mewah, atau makanan yang lux. Mungkin roti harian ini artinya sama dengan sepiring nasi dengan ikan asin, atau setangkai ubi yang mengenyangkan, atau semacamnya. Yang pasti pengertiannya bukanlah makanan mewah berlimpah2. Hanya makanan yang cukup untuk mengganjal perut supaya bisa bertahan hidup saja. Mungkin dalam worldviewnya, arti makanan hanyalah ini saja, dan manusia hanya boleh terikat pada makanan pada level ini saja. Pada makanan yang lebih mewah, tidak boleh ada keterikatan. Selama masih bisa memperoleh makanan pengganjal perut untuk bisa survive, sudah bersyukur.
  6. Pada masa mendekati akhir hidupnya di dunia, Yesus menggunakan roti untuk menyimbolkan tubuhnya. Mungkinkah maksudnya adalah roti dalam pengertian daily bread / makanan pokok? Apakah Yesus sedang menyebut dirinya sebagai makanan pokok / makanan sehari2 bagi manusia?
  7. Ketika mengucapkan bagian ini, ada kesan adanya suatu keyakinan bahwa Allah akan mencukupinya. Ada kepercayaan yang lugu, seperti kepercayaan seorang anak kecil pada orang tuanya, bahwa Allah akan mencukupi berkenaan dengan hal ini. Di sini kami melihat Yesus sedang menggambarkan Allah sebagai pribadi yang bersifat mencukupi / menyediakan.
  8. Satu kalimat di atasnya adalah: jadilah kehendakMu di Bumi seperti di Surga, yang kemudian diikuti dengan 3 hal. Salah satu dari ketiga hal itu adalah: berilah kami pada hari ini roti harian kami. Jadi kelihatannya Allah berkehendak bahwa manusia tercukupi kebutuhan pakan pokoknya. Atau dengan kata lain, Allah menghendaki manusia tidak ada yang kelaparan.

Dari perenungan ini, kami melihat Yesus sebagai tokoh yang unik. Ia menyadari sepenuhnya dimensi spiritual dan apa yang penting di sana, namun dia memaklumi kebutuhan manusia akan makanan. Ini berbeda dengan guru2 yang menekankan dimensi spiritual sebagai dimensi realita yang sesungguhnya dan dimensi lahiriah sebagai kesemuan belaka yang membawa pada tindakan menyangkali apa yang dianggap semu ini. Agaknya interaksi antara dimensi spiritual dan lahiriah dalam pandangan Yesus bukanlah demikian. Yesus melihat keduanya sebagai realita, namun yang spiritual bersifat abadi, sedang yang lahiriah bersifat sementara, sehingga lebih bijak jika manusia mengalihkan pandangannya dari yang sementara ini kepada yang abadi.

Yesus mengkaitkan ketergantungan manusia akan pakan dengan ketergantungan manusia akan Tuhan. Ketergantungan akan pakan adalah suatu yang materialistis, suatu yang lahiriah. Namun Yesus memberikan solusi untuk bergantung pada Allah (yang adalah bersifat / spiritual) dalam memenuhi kebutuhan lahiriah. Hal yang lahiriah ternyata bercampur secara dinamis dengan hal spiritual. Di sini ada petunjuk2 samar tentang bagaimana kaitan antara yg lahiriah dan yg spiritual. Menurut kami, ini solusi yang sedikit aneh. Jika ada org yg mengatakan pada kami,”saya lapar,” maka kami akan cenderung memberikan solusi seperti “carilah kerja,” dll. Tapi Yesus dengan yakinnya mengatakan percaya sepenuhnya saja pada Allah bahwa kebutuhan yg paling mendasar itu akan dipenuhi. Suatu solusi yg nyeleneh, yang membutuhkan iman yg besar untuk menjalaninya. Kami pikir orang normal akan terbelalak mendengar solusi semacam ini. Namun mungkin solusi ini justru memiliki kedalaman tertentu yang tidak dilihat oleh manusia biasa, yang sulit kami ungkapkan dengan kata2 juga. Ada unsur keindahan di sini pula. Setuju / tidakkah dengan solusi semacam ini?

Yesus mencoba meminimalisir keterikatan manusia akan makanan sampai pada titik yang paling mendasar, yakni tercukupinya kebutuhan pokok saja. Kami pikir kami tidak bisa memasukkan pandangan ini sebagai pandangan komunis / sosialis. Juga tidak bisa memasukkannya sebagai pandangan kapitalis. Ini suatu pandangan yang berbeda dari bentuk2 itu. Mungkin suatu saat pandangan Yesus ini bisa memunculkan suatu bentuk sistem ekonomi model yang berbeda – siapa tahu? Di sini tidak ada penyangkalan akan kekayaan, namun juga tidak ada penghinaan atas kemiskinan. Apakah Yesus sedang mengecam kekayaan atau kemiskinan? Kelihatannya tidak. Apakah Yesus ingin semua orang menjadi kaya? Kelihatannya juga tidak. Mungkin bagi Yesus masalah kaya miskin adalah hal kecil, yang tidak penting, hanya masalah duniawi yang sementara saja, yang tidak dipersoalkan olehnya. Dia lebih peduli semua orang bebas dari kelaparan, ketimbang semua orang menjadi kaya.

Hal ini memiliki konsekuensi bagi pengikut Yesus. Bagi orang2 miskin yang mendengar dan mengucapkan doa ini, mereka menjadi gembira karena Allah mereka menjanjikan kecukupan. Mereka akan belajar mengimani dan bersyukur. Jika yang miskin mengekang keinginan materialnya sebatas terpenuhinya kebutuhan akan makanan yg paling pokok, maka mungkin mereka akan lebih bahagia, dan banyak sumber kejahatan bisa dipadamkan apinya. Jika yang kaya mengekang nafsunya akan rasa pada sebatas bergembira karena terpenuhinya kebutuhan pokoknya, maka mereka juga akan lebih bahagia, selain pula lebih sehat.Bagi orang2 kaya, mereka mendapat tugas. Tugas untuk memberantas kelaparan. Tidak bisa tidak, ini menjadi tugas dari pengikut Yesus. Tentunya jika orang2 kaya menurunkan keterikatannya pada makanan (atau pada ketamakan / keberlebihan), maka banyak resources yang dapat disalurkan bagi yang kekurangan. Ini akan sejalan dengan kehendak Allah membebaskan dunia dari kelaparan. Dan mungkin juga ini motivasi yang tidak disadari dari negara2 kristen untuk membantu negara2 yang miskin (meski motivasinya kadang juga dikotori oleh kepentingan yang tidak murni) dan adanya usaha dari negara untuk memberikan jaminan sosial bagi warga miskin.

Kesimpulan

Kami mencoba mengkonstruksi worldview Yesus demikian: Hidup bukan hanya masalah roti, namun tidak semua manusia bisa sampai pada kesadaran ini. Secara umum, manusia terikat pada makanan, namun kiranya keterikatan tsb diminimalisir pada kebutuhan yang paling mendasar saja, yang menunjang kelangsungan hidup, baik bagi yang miskin maupun bagi yang kaya. Allah adalah Allah yang peduli akan kebutuhan mendasar itu, dan Allah adalah Allah yang sanggup / berkuasa memenuhinya, dan Allah adalah Allah yang mau dan akan memenuhinya. Allah menghendaki semua manusia bebas dari kelaparan. Bagi yang miskin, berimanlah bahwa kebutuhan itu akan dicukupi. Bagi yang kaya, berbagilah, karena itu tugasmu sebagai rekan kerja Allah dalam membebaskan masyarakat dari kelaparan. Sama seperti Allah yang peduli, manusia juga sepatutnya peduli. Sama seperti Allah yang memenuhi, sepatutnya manusia juga terlibat dalam pemenuhan itu. Lebih dari itu, Allah menghendaki supaya manusia hidup menikmati hari demi harinya, berpikir “saat ini,” dan menempatkan masalah makan dalam proporsi yang sepantasnya dalam dimensi spiritual: hidup bukan hanya masalah roti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun