Kami menikmati membaca sambil berusaha mengidentifikasi worldview sang pengarang. Membaca seperti ini dapat membawa kami menemukan hal2 yang tak kami duga sebelumnya, atau memperjelas pengenalan kami tentang seseorang, dan tentunya tentang diri kami sendiri ketika terjadi konversasi antar worldview pengarang dan worldview kami. Tentu saja kami membaca sembari mengakui keterbatasan2 yang kami miliki, baik yang kami sadari maupun yang tidak – yakni dengan selalu memberi ruang pada kemungkinan bahwa kami salah atau lalai atau naif. Manusiawi. Membaca secara demikian sebenarnya adalah sebuah usaha memahami worldview seseorang dari kacamata worldview kami sendiri. Dengan demikian baru kami bisa masuk ke dalam konversasi yang esensial.
Kesulitan ini bertambah ketika yang kami baca adalah sebuah laporan dari pihak lain tentang seseorang. Worldview dari tokoh yang dilaporkan tsb sudah mengalami interaksi dengan worldview orang yang melaporkannya, jadi ada kesulitan tertentu untuk memahami worldview tokoh yang diceritakan tsb secara murni. Namun hal ini bukannya tidak dapat dilakukan. Ada beberapa kemungkinan, seperti worldview sang pencerita ternyata telah dipengaruhisecara signifikan oleh worldview tokoh yang diceritakan, sehingga dalam hal ini worldview yang teramati dari bacaan tersebut masih cukup murni menggambarkan worldview sang tokoh, meski mungkin tidak lengkap. Kemungkinan lain adalah adanya dua worldview yang berjalan beriringan dalam bacaan tsb, yang bisa saja disadari oleh pencerita yang sudah mencoba memberikan laporan seobyektif mungkin, namun bisa saja tidak disadarinya. Orang yang melaporkan sesuatu belum tentu memahami secara mendalam hal yang dilaporkannya – bukankah hal ini sering terjadi? Dalam hal begini, worldview sang tokoh yang diceritakan masih dapat diidentifikasi dengan lebih mudah. Akan lebih sulit jika sang pencerita sebenarnya sedang memaksakan worldviewnya sendiri dengan memanfaatkan sang tokoh. Sang tokoh yang diceritakan sebenarnya hanya menjadi bonekanya saja untuk menyampaikan worldviewnya. Namun dalam bacaan kami, kami tidak sampai mencoba memisah2kan demikian, karena diluar keahlian kami, meski sesekali worldview si pencerita terlihat juga dari cara dia menuturkan, dari pemilihan hal2 yang ditekankannya, dari alur yang dipilihnya, dsb. Kami sebatas menyadari bahwa ada interaksi antara worldview sang tokoh yang dilaporkan, sang pencerita yang melaporkan, dan kami sang pembaca yang terbatas ini.
Bacaan kami adalah tentang Yesus menurut laporan Matius 6. Kami ingin membaca dengan cara ini, yakni mengidentifikasi worldview dari tokoh Yesus ini, meskipun hanya sebatas “a glimpse”, dan melakukan konversasi. Sekali lagi kami menyadari bahwa ini adalah usaha memahami sebuah worldview dari worldview kami, jadi kami tidak berani mencantumkan kemurnian atau signifikansi apa-apa. Kami hanya merasa ini sebuah aktivitas yang menarik, dan membuat kami berpikir. Itu saja.
Dalam Matius 6 itu ada beberapa ajaran Yesus, yang seakan membahas topik demi topik yang terpisah. Namun di balik semua itu, kami mencoba menemukan adanya koherensi worldview yang menyatukan semuanya. Kami kesampingkan dulu Doa Bapa Kami yang ada di bacaan tsb, karena akan membutuhkan pembacaan (energi dan waktu) yang tersendiri.
Topik pertama adalah tentang memberi zakat / sedekah / bantuan bagi orang yang membutuhkan. Pernyataannya agak menabrak kebiasaan masyarakat. Dalam bahasa kami, Yesus mengatakan bahwa jika hendak memberikan sedekah dan semacamnya, jangan rame2. Jangan dipamer2kan untuk diketahui khalayak. Lakukan dengan sembunyi2 saja, rahasia, tidak perlu orang lain tahu. Bahkan kalau tangan kanan kita yang memberi, tangan kiri pun tidak perlu mengetahuinya. Yang perlu tahu hanya Tuhan dan kita.
Kami pikir kata2 semacam ini bisa memancing kemarahan orang. Jelas2 ini adalah kebiasaan dalam masyarakat, baik di jaman itu maupun di jaman sekarang, untuk pamer kebaikan. Manusiawi. Kami dapat membayangkan bahwa orang2 kaya yang suka memberi sedekah dengan cara demikian akan tersinggung mendengar perkataan Yesus ini. Bagaimana tidak, sudah bertindak baik masih dicemooh. Bahkan Yesus menyebut mereka agak kasar: munafik. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana perkataan seperti itu dapat menarik simpati orang. Bukankah Yesus sebenarnya berkepentingan untuk mendapat simpati dari tokoh2 penting dalam masyarakat kalau mau popularitas dan pengaruhnya meningkat? Namun bukan itu pembahasan kami. Yang menarik perhatian kami adalah kelihatannya Yesus tidak peduli untuk berselisih dengan orang2 kaya, dan dia melihat tindakan2 amal seperti ini dengan cara yang berbeda. Ini juga terlihat dalam topik kedua yang dia sampaikan.
Topik kedua adalah tentang cara berdoa. Yesus mengajarkan supaya orang tidak berdoa dengan cara berdiri di tempat2 ibadah atau di pinggir2 jalan supaya dilihat orang. Itu doa orang munafik, kataNya. Kalau berdoa, masuk saja ke kamar, kunci pintu, dan berdoa sendiri kepada Tuhan. Tidak perlu orang lain tahu. Dan jika berdoa, jangan panjang-panjang, dengan kata-kata yang mengesankan. Tidak perlu begitu, karena sebenarnya sebelum kita berdoa pun, Tuhan sudah tahu apa yang akan kita doakan. Jangan berdoa untuk mengesankan orang lain. Doa adalah urusan Tuhan dan kita.
Apakah ada persamaan yang mendasar antara kedua topik tsb?
Yang ketiga adalah tentang berpuasa. Yesus mengatakan bahwa orang berpuasa itu jangan memasang muka kusut. Tidak perlu kelihatan letih, tidak segar, bibir pecah2, rambut acak2an, dan sebagainya yang membuat kentara pada orang lain bahwa kita sedang berpuasa. Tapi kalau berpuasa, basuh muka kita dan minyaki rambut kita biar kelihatan segar, sehingga orang tidak ada yang tahu kalau kita lagi menunaikan puasa. Itu urusan antara Tuhan dan kita.
Menurut analisa kami, dalam ketiga topik tersebut, ada sesuatu yang konsisten. Semua aktivitas yang dianggap Ibadah / rohani, dibawa oleh Yesus ke dalam rana pribadi. Ini urusan pribadi antara Tuhan dan kita. Tidak perlu diketahui orang lain. Bagi Yesus, inilah spiritualitas yang sejati. Dan Yesus melihat permasalahannya adalah manusia justru membuat hal ini menjadi masalah duniawi, yakni sebagai ajang pamer kebaikan, pamer kesalehan, untuk mendapat penghormatan di mata manusia. Menurut Yesus ini adalah pemahaman yang korup. Semua kegiatan semacam ini sebenarnya adalah untuk Tuhan, bukan untuk meninggikan diri. Namun manusia kelihatannya sudah tidak mampu lagi melihat Tuhan dalam kegiatan2 semacam itu. Tuhan dan semua kegiatan itu sudah menjadi semacam boneka untuk dimanfaatkan saja. Yang ada hanyalah dirinya sendiri.
Kami bayangkan pasti banyak yang tersinggung dengan ajaran Yesus ini. Orang2 kaya, orang2 yang menganggap diri saleh / suci, pemuka2 agama, semua akan merasa disindir. Tapi mungkin disindir bukan kata yang tepat, karena menyindir berarti mengatakan secara tidak langsung tapi terasa, sedang Yesus mengatakan hal ini terang-terangan. Marah adalah reaksi yang bisa diharapkan.
Memang Yesus adalah pribadi yang unik. Tapi masih ada beberapa topik lagi di Matius 6 itu yang perlu kami sampaikan sebelum melanjutkan analisa kami. Di balik tindakan Yesus tadi, pastilah ada suatu worldview tersendiri. Kami berharap bisa mengidentifikasinya sekilas.
Topik berikutnya adalah tentang kegiatan mengumpulkan harta. Dan mulai bagian ini, Yesus tidak lagi mengatakan dengan nada kasar, tapi lebih halus, seperti memberi tahu seseorang yang sedang salah jalan.
Yesus mengatakan keliru jika kita mengumpulkan harta di bumi, yang benar adalah mengumpulkan harta di Surga! Yesus juga menambahkan hal yang berkaitan dengan itu. Katanya pula, di mana hartamu, di situ hatimu. Jika hartamu di bumi, ya hatimu juga di bumi. Jika hartamu di Surga, maka hatimu juga di Surga.
Mengumpulkan harta adalah sesuatu yang manusiawi. Bukankah kegiatan manusia di dominasi oleh kegiatan ini? Baik yang kaya, maupun yang miskin, kehidupannya sehari2 didasari oleh hal ini. Yang miskin mengumpulkan harta – yang mungkin tidak terlalu pantas di sebut harta – demi sesuap nasi. Yang kaya mengumpulkan harta, bukan lagi demi sesuap nasi, tapi … entah mengapa, entah apa motivasinya, tidak terlalu jelas bagi kami, mereka tetap mengumpulkan harta di atas harta yang sudah menggunung. Terus terang ini juga kritik bagi kami sendiri yang adalah pekerja profesional dalam bidang bisnis. Namun para penguasa juga melakukan ini: mengumpulkan harta. Para dokter, guru, dan semua profesi juga melakukannya. Bahkan para pemuka agama pun juga melakukannya, meski tidak terang2an dan dengan berbagai pembenaran. Jadi sangat tidak meleset kalau disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah mengumpulkan harta. Kami merasa Yesus telah mengambil kesimpulan yang benar tentang perilaku manusia. Ketika perkataan “di mana hartamu, di situ hatimu” dimasukkan dalam konteks ini, maka akan jelas bahwa Yesus sedang mengatakan bahwa manusia itu hatinya ada di bumi, perhatiannya itu tercurah pada urusan dunia, dan tidak memperhatikan, atau tidak melihat dari sudut pandang realitas yang lebih tinggi.
Agak sedikit melompat ke topik terakhir, di sini Yesus berbicara tentang masalah kuatir. Bacaan ini adalah bacaan yang terkenal, dan banyak interpretasi yang kami dengar sejak kecil, karena itu kami harus berhati2 untuk berusaha membebaskan diri dari semua yang pernah kami dengar, demi menemukan artinya secara fresh. Bacaan ini sering dianggap sebagai penghiburan Tuhan bagi manusia, supaya manusia tidak perlu kuatir lagi. Tapi kami melihatnya sedikit berbeda.
Dalam teks tsb Yesus mengatakan supaya kita tidak perlu kuatir akan apa yang akan kita makan, apa yang akan kita minum, apa yang akan kita pakai. Lihat saja burung di udara, Tuhan menyediakan makanan bagi mereka. Lihat saja bunga di padang, Tuhan menyediakan baju yang cantik untuk mereka. Tuhan tahu manusia membutuhkan hal2 itu, tapi jangan kuatir. Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan dipenuhi.
Banyak orang menemukan penghiburan batin ketika membaca ini. Mereka bersyukur Tuhan mengatakan Tuhan tahu bahwa mereka membutuhkan hal2 ini, sehingga Tuhan menjadi Tuhan yang peduli. Dan Tuhan berjanji akan mencukupinya, asal mereka mencari dahulu persyaratan yang disebutkan itu, apapun artinya (kami yakin bahwa kebanyakan orang tidak merasa perlu memahami arti persyaratan itu. Bagi mereka, janji itu saja sudah lebih dari cukup).
Terus terang, kami merasa sulit mengamini hal itu. Hal yang disampaikan ini bertentangan dengan pengalaman hidup kami. Tidak perlu memikirkan besok makan apa, dan percaya saja besok pasti akan dicukupi – mengerikan sekali pemikiran ini. Terasa sulit kami terima kebenarannya. Kami terbiasa merencanakan untuk hari esok. Kami terbiasa memastikan tidak akan kekurangan untuk hari esok. Itulah cara kami menghilangkan kekuatiran akan kekurangan makanan, minuman, dan pakaian. Sekarang Yesus mengatakan dengan entengnya untuk tidak perlu kuatir karena Tuhan pasti menyediakannya. Sulit sekali hal ini direkonsiliasi dengan pengalaman kami, sehingga sulit bagi kami untuk mengadopsi cara pandang seperti ini. Coba kita katakan hal ini pada seorang pengemis yang sedang kelaparan, apa kira2 reaksi mereka. Namun Yesus kelihatannya sangat2 yakin dengan apa yang dikatakannya, tanpa keraguan sedikitpun. Berarti ini juga akan menjadi kunci dalam worldview Yesus.
Kami mencoba menghubungkan dengan topik sebelumnya tentang mengumpulkan harta di bumi. Jika mengumpulkan harta lebih tepat dikaitkan dengan kelompok menengah dan atas, mengkuatirkan apa yang akan dimakan, minum dan pakai justru lebih tepat dikaitkan dengan kelompok bawah, yakni mereka yang kekurangan / miskin. Justru mungkin pengemis2 yang kelaparan itulah kelompok yang dimaksudkan untuk menerima kata2 ini. Kelompok ini didominasi oleh kekuatiran akan pemenuhan kebutuhan pokok. Kami sulit memahami mungkin karena kami bukan dari kelompok tersebut. Bahkan kadang kami yang berkecukupan berpikir benarkah masih ada di jaman ini orang-orang yang tidak tahu besok bakal bisa makan atau tidak. Maafkan ketidakpedulian kami. Namun yang menarik, solusi yang diberikan Yesus berbeda. Dia tidak menyarankan pendidikan, atau membuka lapangan pekerjaan, atau mengetuk bantuan dari pemerintah, dll. Dia mengatakan bahwa semua ini adalah karena keliru pemahaman akan hidup. Bagi kami, persyaratan yang disebutkanNya yakni tentang carilah dahulu kerajaan Allah dan KebenaranNya, sebenarnya berarti kenakanlah dahulu pemahaman yang benar tentang hidup ini. Dan pemahaman yang benar itu adalah … bagian dari suatu dimensi spiritual.
Sampai poin ini kami siap untuk mencoba membuat suatu konstruksi worldview. Sepemahaman kami, Yesus melihat bahwa:
1.Ada dua dimensi kehidupan, yakni dimensi spiritual dan dimensi lahiriah.
2.Dimensi spiritual adalah dimensi yang sesungguhnya, adalah realita, adalah dimensi yang melandasi dimensi lahiriah. Jadi bila digambarkan dalam diagram venn, dimensi lahiriah adalah sebuah lingkaran, dan dimensi spiritual adalah semestanya.
3.Namun manusia melihatnya secara terbalik atau salah. Manusia melihat dimensi lahiriah adalah satu2nya kenyataan yang ada, adalah realita, atau manusia melihat dimensi spiritual sebagai salah satu bagian dalam dimensi lahiriah.
4.Dalam cara pandang yang lahiriah tsb, kegiatan manusia didominasi oleh kegiatan mengumpulkan harta yang sebenarnya dimotivasi oleh kekuatiran akan kebutuhan dasar, dan didominasi oleh pamer kekayaan, kesalehan, kekuasaan untuk mendapatkan penghormatan dari sesama manusia.
5.Dalam dimensi spiritual, yang utama adalah Tuhan. Pusatnya adalah Tuhan, bukan manusia. (Kami jadi teringat akan geosentris dan heliosentris di masa Galileo)Yang penting adalah apa kata Tuhan, bukan kata manusia.
6.Orang yang mengadopsi worldview ini, tidak lagi membutuhkan pengakuan dari manusia. Tidak lagi kuatir akan kebutuhan2 dasar lahiriah. Semua hal2 itu memang diperlukan, tapi menjadi berubah tingkat kepentingannya dan skala prioritasnya dalam kegiatan lahiriah.
7.Sebagai konsekuensinya, jika mengadopsi worldview seperti ini, maka semua kegiatan dalam kehidupan lahiriah ini akan berubah orientasi dan motivasinya, akan berubah skala prioritasnya, akan membutuhkan redefinisi, dan memiliki arti yang baru. Apa itu kegiatan spiritual, apa itu hidup, apa itu kebutuhan pokok, apa itu pekerjaan, apa itu uang, apa itu bisnis, apa itu keluarga, apa itu kematian, semuanya menjadi perlu didefinisikan ulang .(Kami sendiri masih ragu apa siap melepaskan worldview kami sendiri dan mengadopsi worldview semacam ini)
Bagi kami, meski KTP sudah berembel2 kristen, masih sulit sebenarnya mengadopsi worldview ini. Ada suatu worldview conflict di sini. Memang semua yang berembel2 demikian belum tentu mengadopsi cara pandang Yesus. Karena itulah ada suatu saat dimana Yesus mengatakan kamu memanggil2 namaKu seakan sok kenal, tapi sebenarnya Aku tidak kenal kamu. Ketika membaca hal2 semacam ini, kami sendiri lebih suka menanggalkan embel2 label agama, dan mencoba membayangkan diri sedang berada 2000 tahun yang lalu mendengarkan seorang unik yang sedang menyampaikan kabar yang tidak biasa. Kami mencoba mendengarnya, dan menganalisanya, apa kami bisa terima. Kami adalah manusia bebas yang bisa sedikit berpikir, yang tidak mau dibatasi oleh penafsiran2 yang sudah baku. Jika penafsiran baku itu benar, maka ia tidak perlu takut untuk dipertanyakan, karena toh pada akhirnya akan kembali ke kesimpulan itu juga. Takut dipertanyakan adalah sesuatu yang patut dicurigai. Kebenaran tidak pernah takut dipertanyakan. Kami adalah manusia yang memiliki pengalaman hidup sendiri dan selalu menganalisanya dalam alam kontemplasi , membandingkan, dan mencari. Dan kami menemukan worldview dari tokoh Yesus ini memang unik, menarik, tapi … mengatakan sesuatu itu unik dan menarik bukan berarti menyetujuinya. Bahkan menyetujui sesuatu bukan berarti berkomitmen mengadopsinya. Masih ada rintangan2 di sini.
Ingin sekali mendengar masukan dan analisa teman2 khalayak yang lebih beragam tentang worldview Yesus yg kami identifikasi, sehingga terjadi sebuah konversasi worldview (worldview as conversation). Melesetkah worldview seperti ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H