Mohon tunggu...
Hermanto Hermanto
Hermanto Hermanto Mohon Tunggu... -

Hanya sebutir pasir ...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Padang Pasir

27 Juni 2012   06:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:29 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pada detik kesadaran pertama yang terbersit adalah pertanyaan “Di manakah aku?”

Tempat ini terasa asing bagiku. Sepanjang mata memandang, hanya pasir kuning menyilaukan mata tertimpa terik sinar sang surya. Sudah siangkah rupanya? ... Dan ... dari mana datangnya pasir sebanyak ini? Terlintas sepatah dua patah kata dalam benakku: sahara! ... arabia! Tersentak hati ini membayangkan aku berada di salah satu daerah itu. Ngapain aku di sini, dan bagaimana mungkin? Aku berusaha mengingat-ingat, apakah aku ini sedang mengikuti sebuah tour keluar negeri atau tidak. Rasanya sih tidak.

Aku mencoba mengingat-ingat dan mengingat-ingat.

Sekali lagi kucoba mengingat-ingat dan mengingat-ingat.

Tapi aku tak ingat.

Mungkin karena teriknya sinar matahari yang menimpa kepala ini, ... mungkin juga karena sesuatu yang lain, ... aku mulai merasakan suatu perasaan yang berbeda. Dalam benak ini ada terasa sesuatu yang asing. Ya, ... seakan aku berada bukan saja di tempat yang asing, tapi di suatu dunia yang asing. Bagaimana bisa begitu? Ya ... udara di tempat ini terasa lain. Nuansa lingkungan atau hawa atau apalah yang terasa di hati ini, mengatakan bahwa aku tidak berada di dunia tempatku semestinya.

Aku terbatuk-batuk. Cukup keras juga batukku. Ada yang terasa gatal di leher ini. Ada dahak yang keluar dari tenggorokanku dan aku merasa lebih nyaman. Ah, benar! Bukankah aku saat ini sedang sakit batuk! Ya, ... aku bisa mengingatnya sekarang. Senang sekali bisa mengingat sesuatu.

Baru kusadari bahwa aku sudah duduk bersila di bawah terik matahari ini cukup lama. Cukup lama rasanya, hingga mestinya, menurutku, hari sudah waktunya berganti petang. Tapi rasanya sang surya tak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Ada timbul rasa takut dalam diriku. Suatu ketakutan yang beralasan. Siapa yang tidak takut berada pada suatu dunia yang segala sesuatu tidak berjalan seperti yang dikenalnya? Seakan-akan aku kehilangan kontrol dan tak memiliki pegangan lagi dalam dunia ini. Dan orang yang tidak memiliki sesuatu untuk dipegang di dunianya, akan terguncang jiwanya.Ha, ha ... lucu. Dulu waktu manusia pertama hidup di dunia, begitu melihat langit siang tiba-tiba berubah menjadi gelap, apa dia juga tidak kaget lalu ketakutan seperti aku saat ini? Mungkin ini hanya masalah terbiasa atau tidak terbiasa saja.

Setelah beberapa saat – entah berapa lama – menunggu dan matahari ternyata tetap tak bergeming, dan teriknya tetap menyengat seperti ini, aku mulai terbiasa. Ah, ya nggak secepat itu. Rasa was-was itu tetap ada. Siapa tahu ada hal atau kebiasaan atau hukum alam lain yang aneh-aneh di tempat ini? Siapa tahu aku bisa terbang? Siapa tahu kalau aku melangkahkan kakiku ke pasir yang kelihatannya padat itu tiba-tiba aku terperosok ke jurang yang dalam sekali? Siapa tahu apa yang terlihat di dunia ini ternyata semu, dan yang tak terlihatlah yang ada sesungguhnya? Wah ... mikir seperti itu berabe. Aku bisa-bisa tidak berani melakukan apa-apa. Maka, dengan pasrah, kucoba melangkahkan kakiku satu langkah di atas hamparan pasir ini. Terperosokkah aku?

Ya, Tuhan ....!

Tidak ada apa-apa yang terjadi.

Aku menelan ludah – bersyukur. Kini masalahnya adalah ke mana aku harus melangkah. Pertanyaan yang sederhana, namun tak kunjung terjawab. Terbayang dalam benakku waktu kecil ibuku pernah bercerita tentang seorang anak perempuan yang menghadapi dua persimpangan jalan membentang di hadapannya. Ia tidak tahu mana yang harus dipilihnya. Maka ia bertanya kepada seekor kucing yang dijumpainya. “Kemana tujuanmu?” tanya sang kucing. “Aku tidak tahu,” jawab Alice. “Kalau begitu,” sang kucing menutup pembicaraannya,”tidak ada bedanya jalan mana yang kau pilih.” Alice menghadapi dua pilihan jalan, tapi aku tidak menghadapi dua pilihan semata. Di tengah padang pasir ini, aku bisa melangkahkan kakiku ke segala penjuru. Aku kira persoalanku sedikit lebih rumit ketimbang Alice – Alice menghadapi pilihan yang discreet, dan aku menghadapi problem yang continuous. Tapi biar begitu, tak urung kulangkahkan kakiku juga ke ... mana saja sekenanya.

Hamparan pasir maha luas, di manakah batas-batasmu?

Matahari yang tak berbelas, katakanlah sesuatu kepadaku!

Aku asing dan memelas, tak tahu mana yang dituju.

Wahai dunia yang tak jelas, di manakah ini sesungguhnya aku?

Kulangkahkan kakiku menjauhi bayanganku. Sama saja. Tidak ada arah di sini – tidak ada utara dan selatan dan acuan lainnya – karena si matahari itu sama sekali tidak bergerak. Hanya aku yang bergerak di sini -aku dan bayanganku. Tiba-tiba terbersit pikiran, mungkinkah? Mungkinkah sang waktu sedang tersihir membeku seperti film yang sedang di pause? Dan mungkinkah ada seseorang – atau sesuatu – atau apalah itu – yang sedang menontonku? Mungkinkah aku terjebak dalam sebuah film yang sedang di pause?

Ah pikiranku kacau. Aku menyalahkan matahari yang terik ini. Namun aku juga menyadari, aku belum merasakan haus sedari tadi – sesuatu yang tidak mungkin terjadi dalam panas seperti ini jika ini adalah dunia nyata. Haha! aku tertawa kecil, paling-paling aku ini sedang bermimpi. Ketika bangun nanti, maka semuanya akan kembali normal. Sama seperti ketika kembali ke Surga nanti, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kutakutkan. Biasanya, jika bermimpi terjebak dalam dunia asing, aku tinggal mengejangkan seluruh tubuhku, dan meronta sekeras-kerasnya, seperti yg kulakukan ini .... dan mengerang sekeras-kerasnya ... maka aku akan sa ... ah, belum, aku masih di sini, di dunia yg asing ini. Maka kucoba sekali lagi. Aku meronta untuk merenggut kesadaranku menepiskan dunia asing ini! Lho, kenapa aku masih ada di sini? Sedetik terbersit ketakutan. Bagaimana jika aku tidak berhasil kembali? Ataukah mungkin ini bukan mimpi? Tapi, kalau bukan mimpi, lantas apa?

Ketakutan tidak menyelesaikan masalah. Memang tidak pernah demikian. Tapi toh ketakutan itu wajar. Agaknya satu2nya yang masih wajar berjalan sesuai hukum2 alam yang kukenal adalah dunia di dalam diriku sendiri. Entah ini harus kusyukuri atau tidak. Setidaknya ada sesuatu yang kukenal, yakni perasaan2ku yang wajar. Namun seandainya perasaanku pun menjadi tidak wajar, mungkin itu lebih baik, karena aku tidak perlu lagi memiliki kesadaran – kesadaran terhadap keasingan ini – dan aku tidak perlu takut lagi. Mungkin itulah yang terjadi pada orang gila. Berarti aku belum gila. Atau bisa juga aku adalah orang gila yang tidak menyadari bahwa aku gila. Tapi ... pikiran2 seperti ini sama sekali tidak membantu. Aku tetap tidak tahu kemana harus melangkah.

Tiba-tiba! ... Aku suka kata ini. Tiba-tiba! ... tentu saja dalam kecanggungan abadi ini, akan lebih baik jika sesuatu tiba-tiba terjadi. Karena itu, aku mengharapkan ada TIBA-TIBA. Tapi aku mendengus kesal, karena tiba-tiba ... tidak ada apa-apa yang terjadi. Tidak ada tiba-tiba di sini. Aku berharap, aku memohon, aku mengemis: terjadilah sesuatu di sini! Banyak orang yang mengharapkan tiba-tiba nasibnya berubah. Sama seperti yang kuingini ini. Namun itu tidak terjadi.

Aku terlalu mengharapkan. Sama seperti orang yang hidup dengan banyak harapan, tapi tidak ada sesuatu yang dilakukan. Seiring dengan berjalannya waktu, harapan-harapan itu makin menjauh, makin tidak teraih. Rambut memutih. Untung tidak rontok semua. Kulit berkerut. Tatapan mata yang dahulu tajam kini telah pudar sinarnya. Tinggal satu langkah yang tersisa – langkah kepasrahan. Nerimo. Aku terjebak di sini.Aku mencoba mengais-ngais, mungkinkah ada yang bisa kunikmati di sisa hariku ini? Ya – mungkin itu sesuatu yang lebih baik, dan seharusnya kulakukan sejak dahulu: menikmati keberadaanku di sini. Maka kusapa keterasingan ini, dan kuajaknya bercengkerama. Makin lama kami makin akrab, dan… kini dimanakah keterasingan itu tadi?

Hembusan angin lembut membelai wajahku.

Nyaman rasanya. Aku menutup mataku menyongsongnya. Menikmatinya dalam-dalam kala angin itu membelai kulitku. Aku tersenyum. Untuk pertama kalinya kurasakan kesejukan ini. Bagaimana mungkin sedari tadi aku tidak menyadarinya? Aku merasa terbuai. Terbelai.

Ingin rasanya aku membaringkan diriku membiarkan belaian angin ini melingkupiku. Lembutnya hamparan rumput ini terasa menyenangkan di telapak tanganku. Sedetik aku sadar. Rumput? Sejak kapan ada rumput di sini? Bukankah tadi semuanya adalah pasir belaka?

Kubuka mataku. Terbelalak aku melihatnya! Tiba-tiba!

Kali ini sang tiba-tiba benar terjadi! Kemana hamparan pasir abadi yang kulihat tadi? Mengapa kini telah menjadi sebuah padang rumput yang indah? Oh ... aku terpana kaget ... tapi aku tidak menolak. Aku merasa senang. Aku bahagia! Ini tempat yang sangat indah! Oh ... aku tidak peduli. Aku tidak sempat bertanya, mengapa berubah seperti ini. Dalam hati aku bersorak-sorak. Untuk pertama kalinya di dunia asing ini aku merasakan kelegaan.

Tak urung terbersit juga, mengapa semua keindahan ini baru muncul setelah aku mengambil langkah kepasrahan? Ah, mungkin itu korelasi-korelasi kebetulan saja. Tapi bisa jadi ini benar, bahwa hidup baru dimulai setelah kepasrahan. Tiba-tiba saja semua begitu indah dan siap dinikmati. Oh ... semuanya menakjubkan! Ikan-ikan berenang di tepi air ini begitu menyenangkan hati. Mimpikah semua ini?

“Papa, papa, mengapa rambut papa ada yang putih?”

“Ya, karena papa sudah mulai tua, nak,” kataku lirih. Tapi kesadaranku seakan mengejekku. Kesadaranku bertanya, bagaimana bisa tiba-tiba aku sedang menggendong anak2ku di sini. Darimana mereka datang? Aku bahkan tak ingat akan pernikahanku. Atau lupa-lupa ingat. Atau ... sekarang mulai teringat lagi. Dengan wanita yang kemudian menjadi istriku itu. Kemana dia?

“Mama sedang nonton film di kamar,” kata anakku.

Oh, ... aku tersenyum. Kebiasaan lamanya belum hilang rupanya. Tapi senang menemukan sesuatu yang aku kenal. Lalu ia bergabung dengan kami, dan kami pun menikmati kebersamaan dalam piknik kecil di tepi mata air di padang rumput yang semula adalah padang pasir di dunia yang ... bagaimanapun tetap asing ini. Perasaan asing ini belum dapat kuhilangkan sepenuhnya rupanya.

Aku memandang sang matahari. Ya ... ia telah bergeser dari tempatnya! Ia bergerak! Sang waktu telah kembali! Aku bersorak bersukacita dalam ketidakmengertianku. Aku tidak mengenal siapa sebenarnya sang waktu.

Angin sepoi berhembus lagi. Aku tersenyum.

“Pa, kenapa menutup mata?” tanya anakku.

“Menikmati, nak. Menikmati waktu2 bersama kalian dan mama,” jawabku ringan, sembari menenggelamkan diri dalam pelukan dan ciuman mereka.

Angin berhembus. Sedikit lebih kencang. Dan makin lama makin kencang. Tiba-tiba aku merasa kuatir. Aku membuka mataku. Aku melihat anak2ku diterbangkan oleh angin. Aku panik! Aku gugup! Aku berteriak! Aku berseru. Nak, kalian mau kemana?

“Jangan kuatir papa!” seru mereka sayup-sayup masih kudengar. “Papa jangan tidur dulu ya. Tunggu kami kembali. Nanti kita main lagi ya?”

Sakit hatiku. Aku tahan-tahan. Aku tidak ingin menangis. Namun tak urung terburai air mataku. Oh, aku sungguh tidak mau menangis. Tapi aku tidak kuat menahannya. Anak-anakku. Kemanakah kalian? Aku sadar, pada saatnya, semua anak akan diterbangkan oleh angin, meninggalkan orang tuanya, seperti benih-benih bunga rumput terbang untuk tumbuh di tempat yang baru. Namun apakah pertemuan kita tidak terlalu singkat, nak? Tidak tahukah kalian, bahwa waktu tidak akan terulang? Ketika kalian kembali, mungkin papa sudah tertidur, dan kita tidak bisa bermain lagi seperti dulu?

Dalam tangisku, aku terngiang kata-kata seorang pengarang, kesedihan kini adalah bagian dari kebahagiaan waktu itu. Kalau kita menghindari kesedihan kini, maka kita tidak akan merasakan kebahagiaan waktu itu. Ya ... pikiranku menerima, tapi jiwaku masih tidak tenang. Kemana perginya kepasrahan itu? Kini aku mengenal lebih baik tentang sifat sang waktu. Dan tentang hidup. Waktu terus berjalan, dari subuh, menuju terik, dan senja pun menjelang. Roda kehidupan terus bergerak, tidak berhenti di satu titik. Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti. Untuk apa dimasukkan dalam hati. Nikmatilah ketika bisa kau nikmati. Bersedihlah pada waktunya bersedih. Namun jangan larut di dalamnya, karena ... mereka selalu datang silih berganti.

Pada akhirnya, hanya tinggal aku dan Tuanku saja. Yang menyuruhku tidur. Segala sesuatu dan segala sesiapa telah sirna. Tuanku menyuruhku menemaninya. Dalam keabadian. Meskipun dunia tidak mengingatku lagi ... tapi aku hidup bersama Tuanku. Mesra dalam pelukanNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun