Mohon tunggu...
Hermanto Hermanto
Hermanto Hermanto Mohon Tunggu... -

Hanya sebutir pasir ...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Jam Weker yang Pecah

13 November 2009   09:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:21 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Telah lima tahun jam weker yang indah itu melayaniku dengan setia. Tak pernah ia mengeluh, tak pernah ia menuntut. Ia hanya bersuara ketika aku memintanya bersuara, di luar itu – ia hidup berdetak bahagia dalam keheningannya.Aku mendapatkannya dari seorang teman, entah siapa aku sudah lupa, sebagai hadiah kelulusanku. Boleh dikata jam weker itu merupakan sesuatu yang bersejarah bagiku, sebuah lambang keberhasilanku menimba ilmu nun jauh di rantau, sebuah kebanggaanku. Kini sahabatku yang setia itu tergeletak pecah berserakan di lantai.

Aku sendiri yang membantingnya. Dengan tanganku sendiri. Sebagai pelampiasan amarahku atas sesuatu yang bukan kesalahannya.

Kemarin malam suatu realita baru terbuka di hadapanku. Aku telah menerima sebuah tanggung jawab baru dalam pekerjaanku, dan hari H-nya telah semakin dekat, sedang jiwaku belum siap. Ketika jiwa merasa belum siap, pekerjaan tidak dapat dilakukan sepenuh hati. Sama ketika buah yang belum masak benar dipetik, rasanya tidak akan memuaskan hati.Semalam serasa timbul suatu ledakan pemahaman dalam diriku. Aku melihat diriku sedang berjalan menuju medan perang. Dan tidak ada istilah mundur. Siap atau belum, aku harus maju. Bagai seorang prajurit yang siap mati. Pilihanku hanya satu: Berperang dengan sebaik-baiknya. Pemahaman ini membuat jiwaku terbawa pada suatu emosi kepasrahan bercampur tekad yang sukar kulukiskan. Pendek kata, aku siap.Dan dari mulutku aku bergumam pada istriku,” I’m going to the battlefield, wish me luck.”

“Apa?” tanya istriku yang sedang sibuk membenahi pakaiannya. Rupanya ia tidak mendengar.

“I’m going to the battlefield. Wish me luck.”

“Apa? Nggak denger!” Sambil tetap saja mengurusi urusannya.

“Hhhhh…” Aku menghela nafas. Buyar rasanya perasaanku. Pertanda buruk. Mengapa ia tidak mengesampingkan semua urusannya dan memberikan telinganya padaku? Tidakkah ia menyadari ini sebuah momen yang penting bagiku? Rupanya tidak. Perasaanku yang sedang terbawa elevasi itu terganggu. Aku diam saja. Jengkel.

“Apa? Kamu bilang apa tadi? Nggak jelas.” Tapi ia tidak juga meninggalkan urusannya, setidaknya menghentikannya untuk sementara.

Aku memegang bahunya dan menatapnya sambil berkata gusar ,”I AM GOING TO THE BATTLEFIELD, WISH ME LUCK. OK!?” Dan aku pun segera naik ke tempat tidur dengan perasaan jengkel. Aku menganggap hal itu sebagai tindakan tidak mendukung dari istriku. Aku tidak peduli ia sadar atau tidak. Ini sebuah pertanda buruk bagiku.

Istriku terheran-heran, ia tidak mengerti mengapa ia diperlakukan demikian. Ia merasa tidak melakukan kesalahan apa-apa, dan merasa tidak pantas dikasari begitu. “Lho memangnya ada apa?” Tapi aku tak mau menjawab, seperti biasa. Tak urung sedikit tersinggung juga ia.

Aku selalu merasa istriku kurang memahamiku. Aku mengharapkan ia selalu mengetahui keadaan kejiwaanku setiap saat tanpa aku perlu membuka mulutku. Aku ingin dimengerti. Aku ingin dia tahu apakah aku sedang sedih, gembira, melankolis, dll.Mungkinkah Emotional Quotient-nya rendah? Diam-diam aku menuduhnya demikian.

Kemudian istriku mulai membicarakan pekerjaan yang kudelegasikan padanya. “Besok transaksi pemasangan papan iklan itu akan aku tutup. Apa uangnya sudah siap?”

“Berapa?” tanyaku. Dan ia menyebutkan suatu jumlah yang cukup besar.

“Wah, mahal sekali!” Celetukku.Aku memang telah mendelegasikannya dan tidak memasalahkan biayanya. Saat itu aku hanya asal celetuk saja. “Aku pikir hanya separuhnya,” tambahku.

Rupa-rupanya celetukanku ini membuat istriku marah. “Kamu selalu begitu! Kalau begitu, buat apa aku susah-susah mencarikan deal yang paling murah. Berapa pun pasti kamu bilang mahal. Ya sudah, urus saja sendiri!”

“Lho, aku nggak bermaksud begitu,” sergahku membela diri. “Aku cuma bilang ternyata mahal ya biaya iklan itu, tapi aku nggak tahu kalau memang umum membayar segitu. Aku tidak bermaksud menuduhmu apa-apa!”

“Sudah, urus saja sendiri. Malas aku kalau begitu!”

“Hhhhh…” Aku menghela nafas lagi. “Sialan,” pikirku. Rupanya secara tak sadar ia melakukan serangan balik atas perbuatanku yang dianggapnya menyalahinya tadi. Dan aku tidak suka diperlakukan demikian. Aku hanya asal celetuk, mengapa diperpanjang? Secara tidak sadar aku menganggap ini sebagai suatu tindakan yang tidak mendukung. Lagi-lagi pertanda buruk. Aku akan berangkat berperang dan istriku boro-boro mengucapkan semoga beruntung, malahan mengajakku bertengkar. Gusar juga aku.

“Ah, kamu membuat beban jiwaku bertambah berat saja.” Kataku mengasihani diri sendiri. Tapi secepat itu aku sadar bahwa celetukan ini justru memperburuk suasana. Cepat-cepat aku membalikkan badanku tidak ingin melanjutkan pembicaraan dan membiarkan ia merasa bersalah atas kelakuannya. Rupanya secara tak sadar dalam pernikahan ini aku telah mengembangkan kemampuan membuat pasangan merasa bersalah. Ia berteriak, “Siapa yang memulai?” Tapi aku diam saja.

Makin dipikir makin sumpek aku. Tidak biasanya aku percaya pada pertanda-pertanda. Tapi hari ini semangatku yang sedang timbul dipadamkan oleh pertanda-pertanda buruk ini. Dan aku melimpahkan kesalahan pada istriku. Aku jengkel. Dalam sekejap kuraih jam weker yang dari tadi hanya menonton saja tanpa suara dan kubanting sekuat-kuatnya ke lantai. Rupanya Emotional Quotient-ku yang rendah. Lantainya cuil. Jam itu pecah berantakan.

Salahkah yang aku lakukan? Aku mencoba menerangkan pada diriku sendiri bahwa ini adalah suatu ekspresi kekecewaan sebuah pernikahan. Pernikahan ternyata membukakan mata pada banyaknya perbedaan antara harapan masa pacaran dengan kenyataan. Dan dia yang tidak bisa menerima, akan hanyut dalam kekecewaan. Mula-mula kekecewaan itu akan muncul dalam bentuk saling adu mulut dan merajuk. Jika bertambah parah, ya seperti yang aku lakukan, barang-barang pecah belah akan menjadi sasaran. Dan jika hal itu dibiarkan terus, akan mulai terjadi tindakan penganiayaan pada pasangan. Dengan patokan ini kita bisa tahu sebuah keluarga itu sedang ada pada stadium mana. Rupanya aku sendiri sedang memasuki stadium dua. Dan ini bukan sesuatu yang baik. Aku tidak boleh membiarkan hal ini berlarut.

Aku memejamkan mata tidak mau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Apakah istriku menangis atau tidak, aku tidak tahu. Yang kutahu, diam-diam ia bangun, mematikan lampu untukku, dan membawa bantalnya untuk tidur di ruangan lain.Belum pernah ini dilakukannya. Biasanya aku yang melakukan hal itu.

Dengan kondisi begini, bisakah aku maju berperang? Hubungan dgn istriku masih perlu diperbaiki. Jam wekerku rusak tak bisa dipakai lagi. Aku biarkan saja tergeletak di sana. Aku biarkan saja istriku berbuat begitu. Diam-diam ada perasaan lega setelah membanting jam weker itu. Ah, jam weker. Apakah dengan pecahnya dirimu, itu suatu pertanda buruk? Mengapa aku merasa lega? Aku merasa telah berani melakukan sesuatu yang selama ini tak berani kulakukan. Aku merasa telah melakukan sesuatu yang tak mungkin kulakukan: memecahkan jam weker. Aku merasa terbebas, terbebas dari belenggu comfort zone yang membatasiku. Ya, aku telah berani membebaskan diriku untuk melakukan yang tak mungkin kulakukan sebelumnya. Dan ini pertanda baik bagi persiapanku. Ah, jam weker -engkau begitu penuh pengorbanan. Aku akan kehilangan engkau, engkau telah memberikan semangat baru padaku.

Ya, aku telah bertindak bodoh. Bodoh dalam membangun rumah tanggaku. Memang aku yang salah, terlalu mengharapkan istriku menjadi wanita yang sempurna, bahkan supranatural. Aku sadar betapa banyak bantuannya pada pekerjaanku yang tak mungkin kulakukan sendiri. Aku sadar betapa ia pun setia padaku seperti jam weker itu, meski bukannya tanpa keluh kesah dan tuntutan. Dan bukankah itu manusiawi? Ah, aku pikir, betapa susahnya baginya untuk hidup dengan aku. Aku sering mengatakan tolong buat lebih mudah bagiku untuk hidup bersamamu, tapi sebenarnya akulah yang membuat orang lain tidak mudah untuk hidup bersamaku. Kasihan wanita itu. Sepanjang hidupnya ia belum mengenyam kebahagiaan – bukankah aku tahu cerita hidupnya? Ketika ia menikah bersamaku, bukankah ia mempertaruhkan masa depannya? Bukankah ia menemukan adanya harapan untuk berbahagia dalam hidup bersamaku? Dan aku tidak pernah melakukan sesuatu untuk membahagiakannya. Aku belum pernah dengan sadar berusaha membuatnya berbahagia.

Bagaimana besok aku akan menghadapinya? Tidak mungkin aku mengatakan ma’af. Tidak mungkin. Wajar sekali,kupikir, bila ia membenci aku, dan meracuni makananku besok pagi. Aku akan mati tanpa menyalahkannya. Dan aku tidak perlu menanggung malu untuk meminta ma’af. Dan tidak perlu maju ke medan perang. Tidak ada beban. Bunuhlah aku, sayang, jika kau mau. Tapi jangan suruh aku minta ma’af.

Ketika fajar menyingsing, istriku sudah disisiku lagi sambil tersenyum. Seakan tidak ada apa-apa. Bayi kami ada di antara kami. Terlintas dalam benakku ia sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan mengingatkanku bahwa kami punya bayi.Tidak masalah. Aku lebih suka cara yang tidak langsung seperti itu. Tidak perlu ia mengatakan sesuatu yang menggunakan bayi sebagai senjata. Kupikir, berat sekali beban seorang wanita. Tidak peduli siapa yang salah, ia yang harus menanggung kesalahan. Tidak peduli siapa yang salah, ia yang harus berinisiatif memperbaiki hubungan. Pada akhirnya kaum lelaki akan lunak juga dan berkeinginan untuk membahagiakan. Memang itulah rahasia cara wanita.

Jam wekerku itu pastilah seorang wanita. Bukan kesalahannya, tapi ia yang dibanting. Dan meskipun dibanting, ia justru masih memberikan semangat baru padaku. Dan mungkin sudah sepantasnya aku memikirkan upacara penguburan yang layak untuknya.

(2001)

Published with permission from my beloved wife

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun