Otak manusia bisa memahami arti dari kata “batas.” Batas adalah pemisah, yang membagi sebuah teritori menjadi dua bagian: yang di dalam batas dan yang diluar batas. Kita hidup di bumi. Batas bumi adalah atmosfir yang ada disekeliling bumi. Di dalam atmosfir itu kita masih menyebutnya di dalam bumi. Di luar atmosfir itu kita sebut diluar bumi. Bumi ada di dalam sebuah galaxy. Galaxy ini pun memiliki batas, meskipun batas itu tidak selalu sebuah garis yang jelas.
Selain memahami kata “batas,” manusia juga bisa memahami arti dari frase “di dalam batas” dan “di luar batas.”
Di dalam batas adalah teritori kita, teritori yang kita kenal, yang kita miliki. Di dalam batas selalu ada sesuatu. Namun kita tahu bahwa di luar batas juga selalu ada sesuatu. Di luar batas bukanlah ketiadaan, namun sesuatu yang juga ada, yang belum kita kenal, yang bukan milik kita.
Di luar batas ada sesuatu. Namun ada masalah besar di sini. Ketika kita mendefinisikan sesuatu, maka sesuatu itu selalulah memiliki batas. Bahkan definisi itupun sebenarnya adalah sebuah batas. Sebutan yang kita gunakan selalu memiliki arti, atau mendefinisikan sesuatu. Arti atau definisi itu adalah batas, sehingga sesuatu yang memiliki sebutan selalu sesuatu yang terbatas. Setidaknya ia terbatas dalam persepsi atau imajinasi manusia. Sesuatu yang masih bisa dibayangkan manusia selalu memiliki batas. Sesuatu selalu terbatas.
Jadi kita mendapati situasi bahwa di luar batas selalu ada sesuatu. Dan sesuatu selalu memiliki batasnya sendiri. Jika demikian, batas dari sesuatu itu pasti menimbulkan adanya sesuatu yang lain diluar batas tersebut. Dan jika yg diluar batas itu adalah sesuatu, maka sesuatu itu akan memiliki batasannya lagi. Dan demikian seterusnya.
Jika diikuti terus, maka kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya kita ini hidup dalam dunia yang tak terbatas. Tak terbatas bukan berarti tak diketahui batasnya, tapi memang tidak ada batasnya. Setiap batas akan menimbulkan sesuatu di luar batas tersebut, dan ini tidak akan pernah berakhir. Inilah kondisi tak terbatas.
Masalah yang timbul adalah: dapatkah manusia memahami keadaan tak terbatas? Tidak dapat. Bagi pikiran manusia, segala sesuatu pasti memiliki ujung / batas. Namun secara definisi, batas pasti memiliki sesuatu di luar batas. Ketakterbatasan menjadi tidak masuk di akal. Imajinasi manusia tidak sanggup memahaminya, tidak sanggup dalam arti sebenar2nya, bukan kiasan.
Kalau kita berkelana dengan sebuah pesawat ruang angkasa super canggih, dan kita mulai lepas landas, maka pertama2, kita akan meninggalkan atmosfir bumi. Itu adalah batas di mana manusia bisa berkembang biak dan hidup dengan dahsyat. Di luar batas itu, yakni di luar bumi, hanya segelintir manusia yang pernah ke sana, keluar dari batas bumi. Di luar batas bumi ini, eksplorasi manusia barulah dimulai, masih banyak yang tersimpan sebagai misteri. Katakanlah pesawat kita super canggih, sehingga mampu mengarungi galaxy ini dengan cepat, sejenak saja kita sudah melewati berbagai planet dan mencapai pluto. Pesawat terus bergerak, dan tak berapa lama lagi kita telah keluar dari batas galaxy kita, keluar dari susunan planet2 dan asteroid yang membentuk galaxy kita. Di luar galaxy itu, entah apa yang ada di sana. Ada satu semesta besar yang mewadahi galaxy demi galaxy. Itulah alam semesta – sejauh yang kita tahu. Kita tidak tertarik untuk menjelajahi galaxy2 tsb satu per satu. Kita lebih tertarik untuk menemukan batas dari alam semesta itu. Akankah alam semesta itu tak terbatas? Apakah sejauh manapun kita pergi, kita hanya akan berada di alam semesta tersebut? Sama seperti ketika kita menghitung angka, sejauh berapapun kita menghitung, kita tidak akan pernah sampai pada batasnya? Bagaimana mungkin sesuatu bisa tidak memiliki batas?
Pada titik ini, ada 3 kemungkinan yang bisa terjadi.
Pertama, seperti dikatakan tadi, kita tidak akan pernah menemukan batasnya karena alam semesta itu tak terbatas. Sejauh apapun kita pergi, ya ruang kosong yang mewadahi galaxy itulah yang kita temui. Ruang yang bukan ruang, karena seharusnya ruang sendiri adalah sesuatu yang terbatas. Yang tak terbatas sebenarnya bukan hanya tak dapat dipikirkan, namun juga tak terkatakan. Semua yang bisa dikatakan, pastilah terbatas. Dan ketika kita mengatakan tentang takketerbatasan, itu adalah sebuah usaha untuk memahami sesuatu yang tak terpahami dengan bahasa kita. Dan sebutan apapun yang kita berikan, tidaklah pernah cukup untuk mewadahi atau merepresentasikan Itu. Mungkin di sinilah titik temu kita dengan pemahaman2 mistis / sufis. Dalam kemungkinan ini, setidaknya kita menemukan bahwa kita berada pada ruang atau konteks terbesar / terluas yang ada. Dan konteks itu ternyata tidak masuk akal, karena ketakterbatasan adalah tidak masuk akal dan alam semesta yang menjadi konteks kita itu tak terbatas. Jadi eksistensi kita ini ternyata berada pada ketidakmasukakalan. Kemasukakalan yang kita temui dalam hidup kita ternyata berada pada dan hanya merupakan bagian kecil dari ketidakmasukakalan. Ini sama dengan mengatakan bahwa batas2 yang kita lihat dan kenal sebenarnya berada pada dan hanya merupakan bagian kecil dari ketidakterbatasan.
Kedua, mungkin pesawat supercanggih kita itu terlalu kecil, sehingga kurang cepat untuk bisa mencapai batas ruang angkasa. Kalau kita menggunakan pesawat yang jauh lebih hebat lagi, siapa tahu bahwa ternyata yang kita anggap sebagai alam semesta, yang kita percaya sebagai wadah terbesar dari seluruh eksistensi ini, ternyata terbatas. Siapa tahu ternyata galaxy kita hanyalah seumpama sebuah sel dalam tubuh manusia, dan alam semesta adalah seperti tubuh manusia. Dan pesawat kita membawa kita mencapai kulit, yakni batas alam semesta. Dan ternyata di luar alam semesta, kita menemukan ruang yang lain lagi, yang jauh berbeda bahannya dengan alam semesta yang kita kenal. Pikiran manusia tidak mampu memastikan lagi seperti apa bentuk diluar batas alam semesta itu. Terlalu banyak kemungkinannya, bahkan kemungkinan yang tidak pernah terlintas dalam imajinasi selamanya. Keluar dari kulit alam semesta, kita menemukan ruang yang mewadahi banyak alam semesta2 yang lain. Dan betapa frustasinya kita jika harus menemukan batas dari ruang diluar batas alam semesta kita itu. Namun ini sama seperti mengatakan bahwa diatas angka tertinggi yang pernah kita sebut pasti selalu ada angka lain yang lebih tinggi. Mencari batas menjadi suatu kesia2an, karena diluar batas itu pastilah ada sesuatu yang lain yang akan memiliki batas juga. Pada akhirnya kita kembali menemukan keadaan tanpa batas. Dan ini membawa kita kembali pada kemungkinan pertama tadi. Sama saja.
Terlintas sejenak, jika kita tadi membandingkan alam semesta dengan tubuh manusia, dan kita tahu dalam tubuh manusia ada darah yang mengalir, maka bukan tidak mungkin bahwa alam semesta itu atau sesuatu di luar batas alam semesta itu adalah sesuatu yang mengalir, bukan sesuatu yang diam. Atau bahkan bukan tidak mungkin bahwa alam semesta itu ternyata hidup, seperti tubuh kita hidup – dan bagian terkecil dalam sel tubuh kita sama sekali tidak menyadari atau tidak punya gambaran tentang apa itu hidup. Ketika kita menyadari bahwa ketakmasukakalan adalah sesuatu yang masuk akal, maka sesuatu yang dipikir tidak mungkin ada bisa saja ternyata ada.
Ketiga, mungkin kita salah memahami, sehingga kita salah mencari. Kalau kita mengamati deretan angka yang tidak memiliki batas itu, kita cenderung mengatakan bahwa angka itu tidak terbatas. Namun sebenarnya tidak demikian. Angka itu sendiri adalah sebuah kata, yang berarti ia terbatas. Ia adalah sebuah konsep yang terbatas pengertiannya. Mungkin saja kalau kita mengikuti alirannya, kita tidak akan menemukan batasnya. Namun begitu kita keluar dari konsep angka, kita akan melihat bahwa angka itu terbatas. Angka bukanlah kertas tempat ia dituliskan. Angka bukanlah pensil. Konsep angka terpisah dari konsep kertas dan pensil, dan angka tidak mewadahi mereka. Kertas dan pensil adalah sesuatu diluar deretan angka. Kita hanya tinggal melihat keluar dari konsep tsb, atau keluar dari dimensi tsb, dan kita akan melihat konsep angka itu selain tak terbatas di satu sisi, juga terbatas di sisi yang lain. Siapa tahu alam semesta itupun seperti itu. Dalam dimensi ruang dan waktu, ia tak terbatas. Namun keluar dari dimensi itu, yang mana dimensi itu belum atau tak terpikirkan, siapa tahu ternyata ada sesuatu yang lain! Sesuatu seperti kertas dan pensil yang sepenuhnya berbeda, berada diluar dan tidak mewadahi alam semesta kita. Namun kembali lagi, ketika kita menemukan batas dari alam semesta, kita kembali kepada kemungkinan kedua tadi. Dan kemungkinan kedua tadi membawa kita kembali kepada kemungkinan pertama. Jadi dari semua kemungkinan ini, hanya ada satu kesimpulan.
Dunia maya yang diciptakan oleh komputer juga adalah sebuah semesta. Dunia imajinasi yang diciptakan oleh otak kita juga adalah sebuah semesta tersendiri. Keduanya tunduk pada alur pikiran yang dikemukakan di atas. Keduanya juga tak terbatas, karena itu juga tak masuk akal. Namun keduanya berada dalam alam semesta kita yang juga tak terbatas. Jadi kita melihat kenyataan bahwa ada alam semesta dalam alam semesta. Ada ketidakterbatasan dalam ketidakterbatasan. Jika kita mengambil kalimat ini saja, tanpa mengikuti alur pikiran yang disampaikan, maka kalimat “ada alam semesta dalam alam semesta” ini adalah sebuah ketidakmasukakalan. Ada dunia yang tak terbatas dalam dunia lain yang tak terbatas juga. Ini jika kita membandingkan dunia yang diciptakan oleh otak kita dengan alam semesta kita.
Jika kita membandingkan dunia imajinasi yang diciptakan oleh otak kita dengan diri kita, maka kita dapat mengatakan bahwa ada dunia imajinasi yang tak terbatas itu ada dalam diri kita yang terbatas. Ketidakterbatasan bisa ada dalam keterbatasan. Dan keterbatasan itu ada dalam ketidakterbatasan. Dan seterusnya.
Jadi dua kalimat yang bertentangan seperti “ketidakterbatasan ada dalam ketidakterbatasan” dan “ketidakterbatasan ada dalam keterbatasan” menjadi tidak bertentangan. Menjadi sama2 benar, meski hal ini tidak selalu jelas bagi semua orang. Karena keterbatasan kita hanya dapat melihatnya sebagai sesuatu yang bertentangan. Siapa tahu suatu saat kita bisa melihat hal2 yang saat ini dianggap bertentangan atau tidak masuk akal suatu saat menjadi bisa dimengerti.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah ternyata kita ini hidup dalam ketidakterbatasan dan merupakan bagian kecil dari ketidakterbatasan, namun kita hanya mampu melihat batas2 dan memanipulasi serta mengeksploit ada yang ada di dalamnya. Di luar batas selalu ada batas yang lain. Ketika kita mencoba membayangkan kondisi ketidakterbatasan, maka otak kita menemui tembok buntu. Mandek. Imajinasi kita tidak mampu membayangkan ketidakterbatasan. Ketidakterbatasan menjadi sesuatu yang tidak masuk akal – tidak dapat dimasukkan dalam akal. Dan karena ketidakterbatasan adalah konteks besar dari eksistensi kita, maka kita dapat mengatakan bahwa sebenarnya kita hidup dalam ketidakmasukakalan. Hal2 yang masuk akal yang kita mengerti sebenarnya ada dalam ketidakmasukakalan. Dan mungkin perlu bagi kita untuk lebih bertoleransi kepada ketidakmasukakalan.
(Des 08)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H