Memasuki awal kuliah tahun 1990 an, aku pernah punya angan pengen ikutan kontes model seperti abang dan none Jakarta. Keinginan  saat itu cukup beralasan setidaknya menurut pendapatku (boleh dong). Bukan karena merasa "good looking" tapi tinggi badanku sebagai pemuda generasi 'breakdance' terbilang cukup tinggi yaitu sekitar 170 cm. Dibandingkan dengan teman sepantaranku kayaknya termasuk diatas rata-rata untuk masa itu.
Motivasi lain adalah ini merupakan cara yang mudah untuk mendapatkan penghasilan tambahan guna menutupi kekurangan atau keterlambatan kiriman bulanan dari ortu. Ah...gampanglah cuma lenggak lenggok di atas catwalk, selesai and dapat duit. Pikirku saat itu.
Tapi gimana ya caranya utk bisa masuk dunia modelling atau kontestasi pria idaman masa itu? Hmm...karena lack of information angan-angan itu pupus begitu saja sebelum berkembang. Sebagai anak rantau di Jakarta, akhirnya aku menyadari garis tangan untuk hidup dan bertahan di kota metropolitan ini sangat ditentukan seberapa luas akses informasi dan horizon pergaulan kita utk mengembangkan diri.
Kesempatan terbuka lebar bagi orang-orang yang mau berjibaku tanpa kenal lelah mengejar impiannya. Ada yg bilang kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota tapi menurutku tak sepenuhnya benar pernyataan itu.
Heyy...kok kamu selalu membandingkannya dengan ibu tiri. Apakah sejelek itu kehadiran ibu tiri dalam kehidupan domestik dan sosialmu sehingga sangat layak dibandingkan dengan sebutan ibu, baik secara harfiah maupun maknawiyah?
Framing Akut
Sabar kawan...ini adalah suatu fragment kisah kehidupan yg disetting sedemikian rupa oleh media hiburan sekitar tahun 80 an. Baik didalam cerita film, sandiwara radio bahkan dalam suatu nyanyian pop anak-anak dikala itu seperti lirik lagu ratapan anak tiri dibawah ini:
Betapa malang nasibku
Semenjak ditinggal Ibu
Walau kini dapat ganti
Seorang Ibu, Ibu Tiri
Tiada sama rasanya
Ibu kandung yang tercinta
Menyayang sepenuh jiwa
Penuh kasih lagi mesra
Reff:
Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja
Selagi ayah disampingku ku dipuja, ku dimanja
Tapi bila ayah pergi ku dinista dan dicaci
Bagai anak tak berbakti, tiada menghirauku lagi