Mohon tunggu...
Herman Oesman
Herman Oesman Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Literasi Sosial

Penyuka kuliner lokal, pencinta laut dan pulau berpasir putih, serta belajar dari kehidupan masyarakat. Dapat dihubungi melalui email : hrmnsmn@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi, Patronase, dan Praktik Oligarki

15 Januari 2018   15:13 Diperbarui: 15 Januari 2018   16:06 1985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                   

DESENTRALISASI yang kita rasakan saat ini ternyata, tidak memperkuat eksistensi masyarakat lokal. Sebaliknya, justru hadir pembajakan perangkat institusional desentralisasi oleh kekuatan-kekuatan predatoris, yakni elit lokal lama dan sebagian baru untuk menjaga sumber-sumber daya secara privat, dan meningkatnya ambisi elit lokal membangun sistem patronase lokal. Dengan kata lain, proses demokrasi justru menguatkan relasi oligarki lokal.

Dengan desentralisasi membuat elit lokal justru naik jenjang. Mulai birokrat lokal lama, pengusaha daerah, operator politik, "preman," dan sebagainya dengan melakukan akumulasi privat melalui patronase dan jejaring institusional. Berbagai kendaraan politik lalu dimasuki, di mana partai bukan sebagai agregator dan artikulator, sebaliknya justru hanya sebagai persekutuan sesaat antara kepentingan elit lokal. 

Tak heran bila banyak elit lokal lama yang lompat partai dengan gampang. Begitu juga kita melihat, banyaknya pensiunan birokrat, yang ramai-ramai mewarnai partai politik, lalu meningkatkan posisi tawar-menawar dengan institusi-institusi politik yang ada. Ini menunjukkan bahwa, kekuatan lama mampu mereposisi diri dalam bentuk aliansi dengan kendaraan baru, lalu menguasai institusi demokrasi tersebut.

Kekuatan-kekuatan lama itu mencoba meneruskan praktek-praktek predatoris, tapi bedanya dilakukan melalui demokrasi (bukan otoritarianisme) dan sistem patronase yang terfragmentasi. Tidak hanya kekuatan-kekuatan lama dari elit lokal, tapi juga munculnya wajah baru di pelataran politik yang berprofesi sebagai pengusaha/kontraktor, pendakwah, akademisi, dan lain-lain. 

Hadirnya wajah-wajah baru yang berprofesi pengusaha mengartikan, wilayah kontestasi tengah dibuka untuk menguasai ”kantor-kantor” publik agar dapat memuluskan berbagai tender proyek di birokrat. Bila seperti ini, bagaimana membedakan pengusaha dengan elit lokal lama yang sengaja menyuburkan watak-watak predatoris?

Tak hanya elit lokal birokrasi lama, politisi, dan pengusaha daerah, tapi juga kalangan profesional ikut meramaikan bursa dengan mengusung model kampanye tematik mengatas-namakan kesengsaraan rakyat serta menawarkan perubahan baru bagi masa depan demokrasi. Tak dapat disangkal, kalangan profesional ini juga merupakan bagian dari upaya membangun akumulasi privat dan memperlebar jaringan patronase dalam upaya menabalkan relasi oligarki lokal. Apa yang kita harapkan dari pentas kontestasi yang hanya melahirkan oligarki ini?

Merubah Sikap

Antonio Gramsci (1891-1937) menyindir, ketika yang lama anjlok sementara yang baru belum siap menggantikan. Dan selalu saja ada yang menepuk dada dapat merubah keadaan. Padahal diketahui, basis sosial sangatlah rapuh, yang terjadi selama ini, setelah pasca reformasi berbagai kekuatan aktor-aktor baru hanya menyesuaikan diri dengan arus keadaan yang ada. Tak ada gerakan sosial yang dapat menjawab problem realitas dengan kebijakan politik. Yang terjadi kemudian, hadir dengan meriah : desentralisasi korupsi dan sistem patronase politik lokal yang begitu kuat. Masih adakah harapan pada desentralisasi bila kelakukan elit lokal justru hanya menjadikannya sebagai basis kontestasi?

Setiap kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang kita cermati adalah betapa panjang alur ketidak-beresan, bahkan menghadirkan kekhawatiran-kekhawatiran. Kekhawatiran yang dapat ditarik dari fenomena ini adalah munculnya kecenderungan untuk kembali kepada bentuk mental primitif. Suatu kecenderungan yang menjelaskan bahwa, perkembangan kondisi yang disebabkan ketidakpuasan terhadap realitas yang dianggap bersifat represif cenderung kembali ke bentuk primitifnya, dalam wujud insting primitif. Kecenderungan ini dapat pula disebut sebagai mentalitas neoprimitivisme. 

Suatu mental yang menciptakan berbagai kecenderungan, pola, dan gaya hidup yang menjadi faktor-faktor penyebab macetnya proses perubahan, reformasi, dan demokratisasi serta ketidakmampuan untuk keluar dari kemelut yang ada.

Kondisi primitif dapat berupa sistem psikososial atau ekonomi politik yang mencakup tingkah laku, tindakan, pola kerja, cara berfikir, mentalitas, atau moralitas, yang bisa saja menjadi penghambat utama perkembangan masyarakat. Kasus-kasus kekerasan, intimidasi, dan stigmatisasi, dalam wilayah politik, sebagaimana yang pernah ada dapat menjadi parameter kecenderungan primitivisme tersebut. Kita seakan-akan selalu menghidupkan trilema demokrasi dalam proses politik.

Trilema itu adalah : menguatnya paham komunalisme (pengelompokkan); hadirnya saling memproduksi stigmatisasi di antara kelompok, serta penggunaan kekerasan dalam pemaksaan kehendak. Fondasi itu lalu menjelma menjadi wacana politik imanen, yang di atasnya setiap aktor politik, atau mereka yang berada dalam milieu politik melakukan permainan politik yang bersifat permukaan, dangkal, absurd, dan ironis. Tak jarang, berbagai kekeliruan dapat kembali terjadi. Lantas, apa pentingnya wacana berdemokrasi bila akhirnya tindakan dan perilaku kita tidak demokratis?

Kultur Demokrasi

Memasuki zona proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, elit yang siap bertarung diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat, terutama pendukungnya untuk menjaga sikap saling percaya antar warga dalam membangun kultur demokrasi. Dan, demokrasi akan tumbuh pada masyarakat yang memiliki kultur demokrasi, yaitu sikap saling percaya (interpersonal trust), suatu bangunan sinergitas yang hanya bisa hadir bila antar elit dan antarwarga mengembangkan kultur demokrasi yang santun serta dapat menampilkan keteladanan publik ketika berkontestasi.

Menampilkan arogansi pribadi karena merasa memiliki kuasa dan materi bukanlah kultur yang baik dalam memenangkan hati masyarakat. Elit –termasuk pendukungnya, perlu bekerja profesional, membangun interaksi sosial lebih santun, melakukan proses sosial bermartabat dengan warga, agar kekuasaan dapat memberikan kesan positif bagi masyarakat.

Elit tentu memiliki orientasi mengincar status kekuasaan, privelese, dan prestise di daerah. Hal sama juga dihadapi masyarakat, yang memiliki orientasi penting dan mendasar : dapat hidup layak, akses mudah terhadap kebutuhan ekonomi, kesehatan dan pendidikan tercukupi, serta infrastruktur pendukung kehidupan yang lebih baik. Namun, bila akhirnya, perebutan kekuasaan hanya menyisakan dendam, kesengsaraan, korupsi, dan pembangunan daerah tidak menjadi lebih baik, maka berhentilah mengobral janji, berhentilah memilih elit dan figur yang tidak mampu bekerja.

Kontrol Sumber Daya

Menjelang pemilihan kepala daerah di beberapa daerah, kita banyak diserbu dengan konsep-konsep dan slogan. Namun sekali lagi, politik mudah berubah. Pemilihan kepala daerah tahun-tahun kemarin cukuplah menjadi pengalaman bagi masyarakat untuk memilih orang-orang yang tidak cakap dan tidak cukup memiliki kapasitas mengurus hajatan publik. 

Cukuplah pada pemilihan kepala daerah lalu rakyat memercayai orang yang dianggap baik untuk memperbaiki sistem. Namun, ternyata orang baik tidaklah cukup ketika berada dalam lingkar sistem yang begitu predatoris. Kenyataannya, banyak kepala daerah yang harus tertangkap karena perilaku koruptif dan maraknya praktik transaksional. Pemilihan kepala daerah serentak tahun ini, daerah dan rakyat membutuhkan pemimpin yang bertanggung jawab, berani melakukan terobosan, tidak terlena dalam wilayah nyaman, dan mampu menghadirkan watak pemimpin, bukan penguasa.

Diharapkan, dalam pemilihan kepala daerah, masyarakat harus memperkuat basis sosial dengan mengontrol sumber daya (terutama ekonomi) agar siapa saja dapat dengan leluasa mengaksesnya. Sudah waktunya memilih orang yang memiliki kemampuan membangun daerah dengan kebijakan memihak dan konkrit bagi tegaknya demokrasi yang bermartabat. Sudah saatnya memilih mereka yang memiliki kekuatan pendukung good governance. Yang besar bukan karena nepotisme atau balas utang, tetapi besar karena otoritas yang dimiliki. Saatnya memilih figur yang memiliki ”kaki” di masyarakat, yang dengan itu, dia mampu membuktikan kebijakannya dengan hasil yang bijak secara sosial.

Kita semua tentu tidak ingin menjadikan pemilihan kepala daerah 2018 hanya melahirkan predatoris demokrasi yang hanya menyuburkan sistem patronase politik. Pemilihan kepala daerah 2018 harus menjadi cermin besar tumbuhnya kesadaran baru masyarakat untuk mewujudkan representasi demokrasi santun, menyejahterakan, dan berpihak. Bukan menyengsarakan masyarakat dan daerah ini untuk lima tahun mendatang.

Seringkali dalam kehidupan sehari-hari, seseorang layak diberi kekuasaan untuk memimpin daerah atau orang lain. Namun kemudian oleh kekuasaannya sendiri, semua berubah dan tidak terkontrol secara ketat, sehingga berbagai sifat buruk dan rendah yang awalnya bersembunyi tiba-tiba melejit keluar secara liar. Tentang hal ini, Ignas Kleden menulis dengan tegas; “Kekuasaan pada dasarnya sebuah nafsu.

 Suatu erospurba yang tak tertaklukkan oleh kekuatannya sendiri” (Kleden, 2004). Dengan demikian, suatu pemerintahan menurut Kleden (2003) hanya bisa bersikap terbuka kalau dia relatif bersih (karena pemerintahan yang tidak bersih cenderung berusaha sekuat tenaga menutupi penyelewengan yang dilakukannya), sementara untuk menjadi bersih dia harus terbuka terhadap kontrol dan kritik.

sumber: nusantaranews.com
sumber: nusantaranews.com
Inovator Demokrasi

Demokrasi harusnya tidak sekadar berhenti sebagai prosedur atau membangun legitimasi kelembagaan politik semata. Lebih penting dari itu, Pemilihan kepala daerah nanti, setidaknya dapat meluaskan demokrasi dengan nilai-nilai : partisipasi, transparansi, akuntabilitas, kinerja good governance serta anti korupsi. Di sinilah, figur yang "merasa" bisa menjadi pemimpin dan membawa daerah menjadi lebih baik, dapat menunjukkan kemampuan, sikap keteladanan, kejujuran, kedewasaan, kepemimpinan, dan inovator demokrasi yang dapat menjamin rasa keadilan masyarakat. Bukan sebaliknya, membuat masyarakat dan daerah makin kian tak menentu, tak berdaya, bimbang, gaduh, bahkan terpuruk menjadi lebih buruk. Pemimpin ke depan, setidaknya harus mengendalikan kekuasaan birokrasi yang lebih terbuka untuk dikontrol. []

                                                                                                                                                                                                                                            Ternate, 14 Januari 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun