Mohon tunggu...
Herman Oesman
Herman Oesman Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat Literasi Sosial

Penyuka kuliner lokal, pencinta laut dan pulau berpasir putih, serta belajar dari kehidupan masyarakat. Dapat dihubungi melalui email : hrmnsmn@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi, Patronase, dan Praktik Oligarki

15 Januari 2018   15:13 Diperbarui: 15 Januari 2018   16:06 1985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nusantaranews.com

Kondisi primitif dapat berupa sistem psikososial atau ekonomi politik yang mencakup tingkah laku, tindakan, pola kerja, cara berfikir, mentalitas, atau moralitas, yang bisa saja menjadi penghambat utama perkembangan masyarakat. Kasus-kasus kekerasan, intimidasi, dan stigmatisasi, dalam wilayah politik, sebagaimana yang pernah ada dapat menjadi parameter kecenderungan primitivisme tersebut. Kita seakan-akan selalu menghidupkan trilema demokrasi dalam proses politik.

Trilema itu adalah : menguatnya paham komunalisme (pengelompokkan); hadirnya saling memproduksi stigmatisasi di antara kelompok, serta penggunaan kekerasan dalam pemaksaan kehendak. Fondasi itu lalu menjelma menjadi wacana politik imanen, yang di atasnya setiap aktor politik, atau mereka yang berada dalam milieu politik melakukan permainan politik yang bersifat permukaan, dangkal, absurd, dan ironis. Tak jarang, berbagai kekeliruan dapat kembali terjadi. Lantas, apa pentingnya wacana berdemokrasi bila akhirnya tindakan dan perilaku kita tidak demokratis?

Kultur Demokrasi

Memasuki zona proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah, elit yang siap bertarung diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengertian kepada masyarakat, terutama pendukungnya untuk menjaga sikap saling percaya antar warga dalam membangun kultur demokrasi. Dan, demokrasi akan tumbuh pada masyarakat yang memiliki kultur demokrasi, yaitu sikap saling percaya (interpersonal trust), suatu bangunan sinergitas yang hanya bisa hadir bila antar elit dan antarwarga mengembangkan kultur demokrasi yang santun serta dapat menampilkan keteladanan publik ketika berkontestasi.

Menampilkan arogansi pribadi karena merasa memiliki kuasa dan materi bukanlah kultur yang baik dalam memenangkan hati masyarakat. Elit –termasuk pendukungnya, perlu bekerja profesional, membangun interaksi sosial lebih santun, melakukan proses sosial bermartabat dengan warga, agar kekuasaan dapat memberikan kesan positif bagi masyarakat.

Elit tentu memiliki orientasi mengincar status kekuasaan, privelese, dan prestise di daerah. Hal sama juga dihadapi masyarakat, yang memiliki orientasi penting dan mendasar : dapat hidup layak, akses mudah terhadap kebutuhan ekonomi, kesehatan dan pendidikan tercukupi, serta infrastruktur pendukung kehidupan yang lebih baik. Namun, bila akhirnya, perebutan kekuasaan hanya menyisakan dendam, kesengsaraan, korupsi, dan pembangunan daerah tidak menjadi lebih baik, maka berhentilah mengobral janji, berhentilah memilih elit dan figur yang tidak mampu bekerja.

Kontrol Sumber Daya

Menjelang pemilihan kepala daerah di beberapa daerah, kita banyak diserbu dengan konsep-konsep dan slogan. Namun sekali lagi, politik mudah berubah. Pemilihan kepala daerah tahun-tahun kemarin cukuplah menjadi pengalaman bagi masyarakat untuk memilih orang-orang yang tidak cakap dan tidak cukup memiliki kapasitas mengurus hajatan publik. 

Cukuplah pada pemilihan kepala daerah lalu rakyat memercayai orang yang dianggap baik untuk memperbaiki sistem. Namun, ternyata orang baik tidaklah cukup ketika berada dalam lingkar sistem yang begitu predatoris. Kenyataannya, banyak kepala daerah yang harus tertangkap karena perilaku koruptif dan maraknya praktik transaksional. Pemilihan kepala daerah serentak tahun ini, daerah dan rakyat membutuhkan pemimpin yang bertanggung jawab, berani melakukan terobosan, tidak terlena dalam wilayah nyaman, dan mampu menghadirkan watak pemimpin, bukan penguasa.

Diharapkan, dalam pemilihan kepala daerah, masyarakat harus memperkuat basis sosial dengan mengontrol sumber daya (terutama ekonomi) agar siapa saja dapat dengan leluasa mengaksesnya. Sudah waktunya memilih orang yang memiliki kemampuan membangun daerah dengan kebijakan memihak dan konkrit bagi tegaknya demokrasi yang bermartabat. Sudah saatnya memilih mereka yang memiliki kekuatan pendukung good governance. Yang besar bukan karena nepotisme atau balas utang, tetapi besar karena otoritas yang dimiliki. Saatnya memilih figur yang memiliki ”kaki” di masyarakat, yang dengan itu, dia mampu membuktikan kebijakannya dengan hasil yang bijak secara sosial.

Kita semua tentu tidak ingin menjadikan pemilihan kepala daerah 2018 hanya melahirkan predatoris demokrasi yang hanya menyuburkan sistem patronase politik. Pemilihan kepala daerah 2018 harus menjadi cermin besar tumbuhnya kesadaran baru masyarakat untuk mewujudkan representasi demokrasi santun, menyejahterakan, dan berpihak. Bukan menyengsarakan masyarakat dan daerah ini untuk lima tahun mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun