Pada beberapa diskusi penyusunan kode etik SDM Program Keluarga Harapan (PKH), ada dua istilah yang sering diungkap Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat dan cukup menggelitik. "Pastikan prinsip penegakkan keadilan dalam Kode Etik SDM PKH adalah  restorative justice bukan retributive justice!" tuturnya mengarahkan.
Bagi sebagian orang, dua istilah tersebut tentu masih asing di telinga. Namun tidak bagi mereka yang bergelut di bidang hukum, social welfare ataupun ilmu humaniora lainnya. Baiklah, saya tidak akan membedah kedua istilah secara ilmiah, namun lebih kepada telaah perbedaan mendasar keduanya dan kebiasaan kita dalam menghadapi masalah, problem, kasus dan sejenisnya.
Secara sederhana, Liebmann mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut. (Marian Liebmann, 2007: 25)
Berbeda dengan retributive justice yang bersifat menghukum, restorative justice mempunyai perbedaan dalam pertanyaan dasar.
Mari kita lihat perbedaan keduanya!
Pertama, prinsip Retributive Justice akan mengemukakan pertanyaan berikut:
1. What laws have been broken (Hukum apa yang telah dilanggar);Â
2. Who did it? (Siapa yang melakukannya);
3. What do they deserve? (Apa yang pantas/selayaknya mereka terima).Â
Bandingkan dengan penggalian informasi kedua, Restorative justice sebagai berikut:Â
1. Who has been hurt? (Siapa yang telah disakiti/terluka/dirugikan);
2. What do they need? (Apa yang mereka butuhkan);
3. Who has the obligation and responsibilityto address this hurt and meet these needs? (Siapa yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap pemulihan kerugian dan pemenuhan kebutuhan tersebut);
4. What can we asa community do to make sure this does not happen again? (Apa yang dapat kita lakukan sebagai anggota masyarakat untuk meyakinkan bahwa hal tersebut tidak terjadi lagi).
Beda Pendekatan
Nah, bandingkan saja dua prinsip penegakkan keadilan di atas. Yang pertama, retributive justice, cenderung menunjuk hidung, mencari kesalahan, mengeksekusi dengan sedikit konfirmasi. Dalam prinsip ini seringkali menggunakan hukuman sebagai solusi.
Berbeda jauh dengan prinsip penegakkan keadilan kedua, restorative justice, pendekatan humanismenya begitu dominan. Ada dukungan moril yang sangat kuat dalam menemukan solusi tanpa menyalah-nyalahi. Ada upaya uluran tangan terus menerus dalam penyelesaian kasus (hands on management). Turun tangan tentu berbeda dengan tunjuk-tunjuk kesalahan orang menggunakan tangan!
Nah, kembali dalam konteks pekerjaan kita, prinsip restorative justice tentunya menjadi penting untuk dibudayakan. Jika terjadi masalah di lapangan, mana yang akan dipilih? Mengarahkan kesalahan kepada orang atau bersama-sama memahami permasalahan yang dihadapi?Â
Pikiran mencari-cari kesalahan perlu diganti dengan kepekaan terhadap problem orang lain. Mengelola dengan ancaman wajib diganti dengan menggali kebutuhan orang untuk berprestasi. Perilaku 'ngebet' ingin menghukum segera diubah menjadi dukungan penyelesaian masalah dan memastikan tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Nah, jika pandai membangun hubungan mesra dengan pihak eksternal tentu harus lebih arif terhadap hubungan dengan tim kerja, karena sehebat-hebatnya mitra eksternal tetap saja SDM internal lah yang menjadi tulang punggung sukses organisasi.
Jadi, ada dimana sikap kita?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H