Satu, dua... "Kriiing!!" tiba-tiba dering handphone mengusik Sabtuku bersama anak-anak. "Pak Herman besok ke kantor ya, ini penting demi keberlanjutan PKH!" suara perempuan di ujung telepon.
Lamat-lamat volumenya mengecil dikalahkan pikiran yang melayang membayangkan jutaan wajah lusuh penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan puluhan ribu pelaksana program yang tulus membantu sesama di seantero negeri. "Tolong siapkan bahan telaahnya. Terima kasih Pak," serunya menutup telepon.
Perempuan kepala sub direkrorat itu serius. Padahal besok hari Minggu! Ah, tak ada hari libur di PKH! Kami sudah terbiasa bekerja extra time, dan kami menikmatinya. Tapi entah kenapa telepon tadi terasa berbeda. Ia melecut adrenalinku. Sel-sel darah merah mengalir deras memenuhi ruang-ruang pembuluh di sekujur tubuh.
Ada apa gerangan?! Keberlanjutan PKH?! Apakah PKH akan dihentikan?! Duh, bagaimana nasib penerima manfaat?! Mau ke mana para pemuda potensial berlabuh?! Dag dig dug!!
-----
Tenang! Telepon itu berdering di penghujung 2014, masa awal kepemimpinan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Saat itu Presiden Joko Widodo meluncurkan 3 Kartu Sakti yaitu Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) pada Senin 3 November 2014. Dengan begitu apakah PKH masih layak dilanjutkan? Lantas di mana posisi PKH?
Tampaknya Ibu Menteri ingin memastikan PKH fully fit with new order of social assistance. PKH yang merupakan bantuan sosial bersyarat untuk keluarga miskin dan rentan ini cocok bersanding dengan program yang diluncurkan presiden tersebut.
Kata pakar tentang PKH
Kami pun berjibaku mencari bahan dan telaah untuk menunjukkan bahwa PKH layak dilanjutkan. Tak boleh ada kata berhenti karena PKH di Indonesia sangat dikenal di dunia internasional, istilah masyhurnya Conditional Cash Transfer (CCT).
Singkat cerita kami berhasil mengumpulkan bahan-bahan kajian yang berserak. Berbagai studi dari lembaga independen baik dalam maupun luar negeri dihimpun dan diformulasikan menjadi kerangka acuan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion/FGD). Lahirlah topik "EKSISTENSI PKH DI ANTARA KARTU SAKTI. Sinkronisasi PKH dengan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar & Program Indonesia Sehat Untuk Membangun Keluarga Produktif."
Kami mengundang para pakar CCT nasional dan internasional. Adapula akademisi, peneliti, jurnalis senior, bahkan praktisi dari pemerintah provinsi pelaksana PKH.
Pembicara yang hadir Dr. Vivi Alatas (World Bank), Muhammad Syukri (SMERU), Prof. Dr. Hasbullah Thabrani (Pakar Jaminan Sosial), Prof. Tarsicio Castaneda (Pakar CCT), Dr. Riant Nugroho (Pakar Kebijakan Publik), Prof. Budi Hidayat, Ph.D (Pakar CCT), Rikard Bagun (Editor in Chief Harian Kompas), Hector Salazar Salame (JPAL), Dr. Mundiharno (Pusat Studi Jaminan Sosial Universitas Indonesia), dan Drs. Bachrudin, M.Pd (Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi Nusa Tenggara Barat).
FGD 20 November 2014 menjadi saksi betapa berharganya PKH di tengah beragam bantuan sosial pemerintah saat itu. PKH dianggap masih sejalan dengan 3 Kartu Sakti yang diluncurkan dalam rangka membangun keluarga produktif.
Seluruh pembicara bersemangat dan bersepakat bahwa bantuan tunai bersyarat PKH mampu memberi dampak positif pada perubahan perilaku keluarga kurang mampu. PKH juga dinilai efektif pada penurunan angka ketimpangan (gini ratio) di Indonesia.
PKH harus dilanjutkan dengan berbagai catatan perbaikan di antaranya mekanisme validasi, penguatan verifikasi, implementasi Family Development Sessiondalam pendampingan, dan sistem informasi yang lebih reliable dan up-to-date. Lebih lengkap lihat "Kata Pakar Tentang PKH".
Leverage factor
Satu hal yang menarik adalah keterlibatan aktif Menteri Sosial dalam FGD. Pejabat negara yang rela menyediakan waktu dan pikiran bersama-sama menyimak dan memberi masukan atas diskusi yang berlangsung gayeng tersebut. Membuat acara menjadi lebih hidup.
Maka tak heran jika 3 tahun kemudian PKH menjadi raksasa. Jangkauannya makin luas di semesta nusantara. Ada lompatan sejarah pada tahun pertama kepemimpinannya, penerima PKH bertambah 800 ribu menjadi 3,5 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada 2015. Tahun berikutnya bertambah lagi 2,5 juta keluarga menjadi total 6 juta KPM. Dan puncaknya target tahun 2018 peserta PKH ditambah 4 juta keluarga menjadi total 10 juta KPM. Fantastis!
Ia telah berhasil mengerek seluruh energi pelaksana PKH from something to everything. Dari samar-samar menjadi bingar. Dari 'salah satu' menjadi 'sesuatu'. Bahkan ia pun berhasil menjadi faktor pengungkit (leverage factor) berbagai kekuatan untuk makin membesarkan PKH. Hingga PKH menjelma menjadi tulang punggung program bantuan sosial di Indonesia.
Tipe-tipe seperti inilah yang menjadi pahlawan tanpa kenal lelah. Suka dukanya, susah senangnya selalu demi menjaga eksistensi program. Bahkan melebihi batas kebiasaan manusia umumnya.
Nah, jika sekarang PKH makin ramai, jangan pernah mencederai amanahnya! Jangan usik demi kepentingan pribadi belaka! Jika ada pihak yang sengaja ingin merusak PKH, tenggelamkan saja!
Lebih baik menjaga kebermanfaatannya. Tetaplah menjadi pahlawanuntuk mereka yang membutuhkan. Jadilah leverage factor untuk kemajuan program. Dan mari lebih giat berbuat yang terbaik agar keberlanjutan PKH menjadi sebuah keniscayaan.
Semangat para pahlawan, salam PKH!
Jakarta, 10 November 2017
==========
herman susilo,
Mengabdi di Pelaksana PKH (PPKH) Pusat sebagai Koordinator Regional (Koreg) Wilayah Timur pada tahun 2013-2014. Lalu 2015-2016 didapuk menjadi Koordinator Divisi (Kordiv) Monitoring Evaluasi dan Sistem Pengaduan Masyarakat. Saat ini dipercaya sebagai Tenaga Ahli Peningkatan Kapasitas Sumber Daya PPKH Pusat Direktorat Jaminan Sosial Keluarga, Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H