Mohon tunggu...
Herman Hidayat
Herman Hidayat Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Peminat Kajian-Kajian Filsafat dan Spiritualitas. Penikmat Musik Blues dan Jazz. Menyukai Yoga dan Tai Chi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bertaubatlah, Kawan: Ini Langkah Pertama dan Utama Perjalanan Spiritual

26 September 2022   09:07 Diperbarui: 26 September 2022   09:13 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin faktor usia, di masa-masa menjelang pensiun ini, sedikit banyak membantu mengingatkan saya untuk mulai lebih sering ber-taubat. Istighfar. Memohon Ampunan Allah. Dan jika Baginda Nabi Saw ber-istighfar mungkin hanya 70 - 100 kali dalam sehari, maka, saya rasa, kita-kita harus jauh lebih sering lagi, justru karena kita bukan Nabi. Bahkan bukan pula Kyai, dan kita tahu betul di dunia seperti apa kita berkecimpung.

Ingat, Kawan, betapa dalam puluhan tahun usia kita berlalu, telah berjibun dosa-dosa kita tumpuk, dan betapa telah tebal kerak hitam di dinding hati kita. Sehingga, Istighfar yang kita butuhkan, tidak akan cukup hanya di saat-saat duduk formal sehabis shalat, atau duduk khusus dzikir, tapi kita membutuhkannya, bahkan, di setiap saat.

Saat mulai menelentangkan tubuh untuk istirahat malam hari, hingga terlelap, saat-saat terbangun atau ngelilir tengah malam, saat bangun waktu sahur atau subuh, dan seterusnya dan seterusnya, dalam banyak kesempatan di siang hari. Baik saat duduk, berdiri, atau pun berjalan.

[+] "Bertobat kepada-Nya, justru adalah yang paling mudah, Muridku," suatu ketika Guruku berkata.

[-] "Bagaimana mungkin, Guru?" tanyaku spontan, agak heran.

[+] "Jelas, Allah Maha Besar dan Maha Pengampun. Tidak ada kesulitan apapun bagi-Nya untuk mengampuni seluas lautan sekali pun dosa-dosamu. Dan, engkau sendiri, tentu juga tidak akan merasa sulit untuk mohon ampun, karena engkau pasti akan selalu tahu, bahwa dosa-dosamu memang berjibun."

[-] "Aku belum paham, Guru," desakku, ketika Guru berhenti agak lama, dan hanya memandangku.

[+] "Lihatlah ke dalam dirimu sendiri. Seberapa sering, dan seberapa mudah, engkau memaafkan orang yang menyenggolmu di jalan, atau temanmu yang berkata kasar kepadamu, atau atasanmu yang pernah mem-bodoh-bodoh-kanmu di forum, dalam sebuah meeting?"

Akhirnya saya paham. Memaafkan sesama, memang tidak akan terlalu mudah. Selalu ada kemarahan yang enggan dilepaskan, ada keengganan karena keangkuhan, ada manisnya nafsu yang belum rela dilepaskan. Jika, itu yang terjadi di kedalaman batin saya sendiri, sangat mungkin demikian juga di kedalaman batin orang lain.

Maka, pengertian ini perlu selalu kita tanamkan kepada diri sendiri, sehingga kita tidak serampangan lagi bersikap kepada orang lain, karena boleh jadi, kesalahan-kesalahan kita tidak akan mereka maafkan. Dan itupun, jika kita sempat mohon maaf, dan itu pun jika kita cukup berendah hati untuk mohon maaf, dan itu pun jika kita sadar bahwa kita telah bersalah, dan mohon maaf.

Sementara kenyataannya, mungkin kita sering tidak sadar telah berbuat salah,  atau, kita tidak cukup rendah hati untuk mohon maaf, karena untuk sebagian kita tidak merasa benar-benar bersalah, dan/atau, kita sudah tidak sempat lagi mohon maaf, karena ajal keburu menjemput.

Wahai, dada manusia, Kawan, terkadang, tidak cukup lapang untuk mohon maaf kepada sesama, dan lebih-lebih lagi, untuk memaafkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun