Sejauh ditelusur, mereka hanya melihat tampilan buku, baik judul, warna cover maupun ilustrasi. Hal terpenting yang luput dari perhatian adalah isi buku. Dapat disimpul, pihak-pihak yang melakukan razia itu, sebelumnya memang tidak membaca isi buku samasekali.
Tidak membaca bukan berarti tidak paham, juga bukan berarti oknum-oknum tersebut tidak tahu membaca, ini kan namanya sin namkak! Tindakan itu justru dilandasi oleh pemahaman lebih tentang paham-paham berhaluan 'kiri', sayangnya dibangun di atas fanatisme yang berlebihan.
Fanatisme dalam paksaan ego menjadikan mereka bertindak tanpa suatu pertimbangan matang, juga tanpa melalui proses yang diamanatkan dalam peraturan. Jika kemudian tindakan itu didasarkan pada Ketetapan MPRS Nomor XXV tahun 1966 yang berisi tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan larangan paham komunisme di Indonesia dalam segala bentuk, Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP, maka tindakan itu sangat keliru.
Walaupun produk-produk hukum tersebut tetap berlaku hingga saat ini, tetapi tindakan tersebut tetap harus melewati proses yang tepat. Salah satu proses yang harus ditempuh adalah seizin pengadilan sebaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010.
Dalam putusan itu, MK menegaskan bahwa kewenangan pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung sesuai Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/ 1963, bertentangan dengan konstitusi. Artinya, segala pendekatan terhadap ancaman paham 'kiri' harus sesuai hukum yang berlaku, bukan sebaliknya bertindak sewenang-wenang.
Menghancurkan Peradaban, Mematikan Geliat Literasi
Adanya sebuah buku berkaitan erat dengan salah satu literasi dasar, yakni baca-tulis. Sebagai literasi yang memiliki peran (fungsional), membaca dan menulis memampukan seseorang memiliki pengetahuan dan kehidupan yang baik. Membaca tidak terbatas pada aktivitas di tengah waktu luang, tetapi sebagai kebutuhan paling mendasar bagi siapa saja. Demikian pun dengan menulis adalah respon atas segala realitas masyarakat dan semesta.
Peradaban sebuah bangsa hanya akan kokoh oleh kedua actus tersebut. Jika membaca adalah usaha mendulang pengetahuan, maka menulis adalah usaha kreatif untuk 'menyediakan' ide atau pengetahuan itu sendiri. Upaya merazia buku-buku yang menyimpan segudang pengetahuan, itu sama saja menghancurkan peradaban sebuah bangsa.
Fernando Baez dalam bukunya Penghancuran Buku dari masa ke masa (terjemahan Lita Soerjadinata) yang diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri (2013), menggambarkan secara dramatis upaya penghancuran buku oleh para biblioklas (penghancur buku).
Baez di halaman awal bukunya, menyuguhkan kepada pembaca sebuah kisah melankolik yang dialami seorang profesor sejarah abad pertengahan di Bagdad. Profesor itu meratapi peristiwa penjarahan dan penghancuran buku di perpustakaan Universitas Bagdad, tempat ia mengajar. "Kenangan kita tidak ada lagi. Tempat lahir peradaban, tulisan, dan hukum, musnah terbakar. Sisanya tinggal abu," ungkap profesor tersebut seturut kisah Baez (hal. 3).
Baez juga mengisahkan sejarah penghancuran buku dari zaman Dunia Kuno, Byzantium sampai abad k-19, selanjutnya abad ke-20 sampai saat ini. Baez setelah melakukan riset selama 12 tahun kemudian mencapai suatu kesimpulan bahwa para penghancur buku adalah orang-orang terpelajar yang berupaya menyingkirkan buku-buku oleh sebab tekanan mitos-mitos apokaliptis, depresif, perfeksionis, egois dan cenderung berada dalam lembaga yang berada dalam kekuatan yang sedang berkuasa (Baez, hal. 22).