Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Suara di Balik "Telepon Tengah Malam"

30 Juli 2019   00:58 Diperbarui: 30 Juli 2019   01:47 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixabay/ JamesDeMers

Saat-saat seperti itu, rindu adalah air mata bagi ibu. Sosok yang dicitrakan Jokpin dalam puisi (teks), tidak hanya menjadi ibu bagi penyair, tetapi juga pembaca. Siapapun tentu mengalami dan merasakan sifat 'alamiah' dari seorang ibu yang menjadikan kita ada.

Jokpin membuka puisinya dengan corak yang sangat kental. Ialah guyon yang seringkali menjadikan pembaca seperti 'orang gila', tersenyum ataupun tertawa sendiri. Saya yakin, semua pembaca tentu pernah mengalami (bertindak sebagai pelaku) respon penyair dalam puisi tersebut. Telepon kabel (tablephone/ wallphone) ataupun handpohne (HP), sering membuat kita melupakan banyak hal yang ada di sekitar, bahkan sesama manusia. Terlampau mengakrabi HP membuat kita tampak cuek atau bosan dengan sendirinya. Perhatikan image Jokpin, berikut:

Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja.
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
"Siapa ini?", jawabnya cuma "Ini siapa?"

Telepon sebagai wujud perkembangan teknologi membantu umat manusia dalam berkomunikasi. Kapan dan di mana saja orang-orang saling berinteraksi, baik melalui pesan, suara bahkan sudah sampai pada tahap video. Dunia yang begitu luas amat sempit di layar berdimensi kecil.

Informasi seputar keseharian, semisal saling berkabar nyaris dilakukan setiap saat. Namun ada saat dimana jenuh menghampiri dan kita mulai lupa akan hasrat mendasar manusia yakni komunikasi riil. Cuek terhadap pesan atau panggilan telepon kekasih itu 'biasa-biasa saja', hemat saya. Sikap itu baru akan menjadi luar biasa ketika seorang anak acuh terhadap panggilan telepon seorang ibu, ia yang menjadikan kita ada. Betapa sakit (mungkin) seorang ibu yang ingin segera mendengar suara dan tahu kabarmu, tidak terwujud. Jokpin menggambarkan actus tersebut dalam bait berikut:

Ada dering telepon, panjang dan keras
dalam rongga dadaku.
"Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja."
"Ini ibu, Nak. Apa kabar?"
"Ibu, Ibu di mana?"
"Di dalam."
"Di dalam telepon?"
"Di dalam sakitmu."

Secara pribadi sebagai pembaca, percakapan-percakapan dalam puisi tersebut selalu membawa saya untuk menghadirkan sosok (wajah) ibu dalam benak. Mungkin terlintas juga dalam benak pembaca, mengapa penyair di dalam puisi (teks) masih sempat bertanya tentang 'siapa' yang menelepon? Jika memang ibunya, sudah seharusnya si anak menyimpan nama kontak kan? Ataukah si anak menjawab panggilan telepon tersebut tanpa melihat identitas pemanggil? Bisa jadi, sebab situasinya tengah malam (jam tidur, kecuali ia insomnia).

Ada juga kemungkinan lain, si ibu baru sempat memiliki HP; tidak 'sabar lagi' untuk segera mendengar suara anaknya melalui panggilan telepon. Tetapi, penyair dalam posisinya sebagai seorang anak, sudah semestinya suara ibu dikenal. Banyak kemungkinan yang bisa diciptakan untuk menyangkal isi percakapan tersebut.

Pembaca pun hendaknya bertanya, mengapa penyair menulis demikian? Baiklah, interpretasi akan diulas secara ringan dan sangat sederhana. Eh, memang ini ulasan yang sederhana (reflektif).

Sense dalam puisi Telepon Tengah Malam merujuk pada sikap seorang anak yang terkadang lupa akan setiap bentuk perhatian, kasih sayang dan cinta seorang ibu. Ada saat dimana dalam suka-duka, sosok ibu selalu ada bagi anak-anaknya. Namun dalam status sebagai seorang anak, Anda dan saya seringkali tidak menyadari hal itu. Pembaca (kita) adalah anak-anak 'durhaka'.

Jokpin dalam puisinya menggambarkan situasi 'sakit'. Disini, sakit bukan saja fisik, tapi juga psikis. Ibu senantiasa ada di setiap luka dan duka anak-anaknya. Ia ada untuk menguatkan, menyemangati bahkan menyembuhkan.

Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya.

Malam, identik dengan gelap. Ialah situasi dimana 'luka' dan 'sakit' bisa saja ada, ibu hadir sebagai cahaya yang menerangi dan menyembuhkan, ada nyaman tak terkira yang dijanjikan. Suara ibu adalah suara yang mampu menghalau segala sesak di rongga dada. Suara ibu ada untuk menguasai malam yang menyelimuti anak-anaknya gelap-kegelisahan. Suara ibu senantiasa ada dimana-mana, juga di hatimu. Coba dengar, sekarang juga!

***

Kupang, 16/19. HET

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun