Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Saya Tidak Menulis, Saya akan Mati

24 Februari 2019   18:20 Diperbarui: 26 Februari 2019   00:06 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sastrawan Gerson Poyk (foto: Kompas/ Mathias Hariyadi)

Salah satu alasan dominan citraan tentang lokalitas NTT dalam karya-karyanya adalah memperkenalkan NTT ke seluruh ujung dunia. Sebab di tanah NTT, ia mengalami secara langsung citraan-citraan tersebut. Di sini, sastra benar-benar merupakan cermin realitas. "Saya lebih banyak memilih tentang lokalitas khususnya NTT karena saya memang berasal dari Rote, alam NTT telah membentuk diri saya menjadi begitu militan rasa cinta saya padanya, meski saya kini menetap di Depok, Jawa Barat, NTT selalu berada di dalam pemikiran saya. Bagi saya NTT merupakan provinsi yang sangat indah."

Selain menjadikan NTT sebagai rahim imaji, Gerson Poyk pun memperkaya pengetahuannya dengan banyak membaca. "Kreativitas saya sebelumnya adalah dengan membaca dan membaca, dengan begitu, imajinasi saya akan terbentang luas dan menjadikannya suatu titik tolak dalam karya-karya saya." Di usianya yang ke-85 (saat itu), ia masih terus membaca dan menulis. Selain 'otak tidak buntu', membaca dan menulis adalah bagian dari terapi kesehatan.

"Kalau saya tidak menulis, saya akan mati." Ialah pernyataan yang selalu dan senantiasa diingat. Saat itu dalam surel, saya mengajukan tanya kepadanya tentang motivasinya menulis walau sudah lanjut usia; dimana ia seharusnya lebih banyak beristirahat. Jawaban yang sangat reflektif-filosofis.

Membaca dan menulis ulang itu kalimat, saya seolah sedang berhadapan dengan beliau dan berulangkali ia berkata demikian. Yah, walaupun Opa Gerson Poyk telah berpulang, tapi ia tetap hidup di dalamm karya, di hati setiap mereka yang menaruh cinta kepadanya.

Terkait aktivitas membaca dan menulis, Gerson Poyk pun memiliki beberapa 'idola' yang turut mempengaruhi pemikiran dan karyanya. Nama-nama yang sempat disebut adalah Albert Camus, Immanuel Kant, Sartre, Nietze, Kierkegaard, dan Hegel. Namun perlu diketahui, bahwa tempat pertama dan utama yang diidolakan Gerson Poyk adalah Yuliana Manu, ibu yang dari rahimnya melahirkan seorang sastrawan. "Saya mengidolakan ibu saya, sebab beliaulah yang menjadikan saya untuk menjadi seorang sastrawan."

"Di bawah siraman hujan ibu menanam jagung dan sayuran untuk kesehatanku. Itulah kenangan yang paling meresap untuk kemudian, ketika aku menjadi sastrawan." Gerson Poyk menggambarkan secara jelas peran ibunya dalam Nostalgia Flobamora (Novel Biografi, 2015).

Melalui karya-karya baik puisi, cerpen, novel, essai/ kritik sastra, dan lain-lain kerap kali ia mendapat berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya adalah hadiah Adinegoro (1965, 1966, 1985, dan 1986), diberi beasiswa untuk mengikuti International Writing Programdi University of Iowa, Amerika Serikat (1970-1971) dan diundang untuk mengikuti Seminar Sastra di India (1982), Southeast Asia Write Award (1982) Sea Write Award (1989), Lifetime Achivement Awarddari Harian Kompas(1997), Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Indonesia (2011), Academy Award kategori Sastra dan Humaniora dari Forum Academya NTT (2012).

Ketika ditanya tentang alasan mendasar dari segala penghargaan tersebut, ia menjawab dengan satu 'kemungkinan' yang sangat kuat: "alasan utamanya mungkin penilaian dari karya-karya saya lebih banyak bercerita tentang manusia terpinggirkan, orang-orang miskin dan budaya lokal seperti NTT."

Tentang karya sastra, Gerson Poyk dalam konsepnya mendefenisikannya dalam tiga arti. Pertama, sastra adalah karya seni. Kedua, sastra merupakan intuisi kreatif yang lahir dalam jiwa, dimana di dalamnya ada perenungan-perenungan tentang hakekat kehidupan manusia di bumi ini. Ketiga, sastra merupakan bentuk pelayanan dan cinta kasih Tuhan kepada manusia.


Demikian karya sastra menjumpai eksistensinya sebagai citraan atas realitas sudah seharusnya lahir dari refleksi yang mendalam. "Seharusnya karya sastra adalah karya yang mampu menyampaikan penderitaan manusia dan alam melalui ungkapan-ungkapan yang lebih bersifat filsafat, dimana di dalam kehidupan banyak tembok-tembok absurd (absurd wall) yang dialami manuisa."

Keprihatinan Gerson Poyk terhadap sastra Indonesia dewasa ini adalah bagian dari dangkalnya refleksi para kreator dalam membahasakan realitas. Menurutnya, sastra [Indonesia] tempo dulu lebih humanis dan lugas di dalam penyampaiannya, sedangkan saat ini lebih mengarah ke capital, sehingga unsur religiusitas, humanis dan kasih terkesampingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun