Suara-suara yang kau dengar, seakan menguatkan
langkahmu yang nyaris roboh di antara
gedung-gedung purba.
Ada sorot cahaya melingkupi
pasangan-pasangan kekasih, sedang kau
seperti monumen tanpa tubuh
gelap, hatimu.
Beberapa detik kau dengar lagi
itu suara-suara. Detak di jantungmu
merobohkan segala harap
menjamah tubuh bayi
bayi hanyut dalam peluk
kekasih yang menyediakan rahimnya, lagi
itu luka yang membawamu
kepada duka, kau kahilangan.
       Â
Hembus napasmu tak cukup liar, menggapai
setiap puncak dan tepian harap
anak-anak, kekasih
keluarga kecil
masa uban hingga keriput
itu cahaya yang enyah, kaulah
kegelapan.
Di akhir gema suara-suara itu, kau menjumpai
jejak, ialah jawaban atas segala ziarah
ketika langkahmu terhenti
di gedung-gedung purba lainnya.
Ada titik cahaya melingkupi pasangan penari
syair-syair requiem mengiringi lenggok tubuh mereka
dihempasnya, masuk ke jiwamu.
Ada alasan untuk pergi
setelah cahaya yang kau jumpai
adalah gelap yang tak pernah usai.
Suara-suara keluh, memanggil
Papa, mengapa?
itu suara putri dan istrimu
yang kau bunuh semalam
dengan benci di mata kelewang
tanpa kasihan dan alasan.
Kupang, 2019
HETanouf