Di mana-mana ada air mata. Menyata dalam aksara berwajah curah. Tiga belas jam lalu aku menjumpai orang-orang berkeluh. Ada juga kekasih-kekasihku, datang dalam genggam air mata. Sadis, terlampau. Suara dimusuhi. Hanya sayu dan isyarat di kelopak-kelopak basah. Kusambut dengan tanya dan tuah. Jawab mereka ialah sembap yang sama. Bulir-bulir itu makin tumpah. Tepat di dada, meresap ke rongga-rongga. Mengalir lalu mengubang di sukma. Ratap amat megah melebihi Romeo kepada Juliet, juga aku padamu. Perlu kau tahu, ada saat dimana cinta menjelma tinja. Nikmat hanyalah milik alfa, sedang omega dimangsa terenyuh.
Dan
Untuk kesekian kalinya amarah ialah sutera, mampu menghapus kuyup. Di kelopak, di dada, di sukma, di jiwa, di segala celah yang sempat disinggahi air mata. Kepada orang-orang dan kekasih-kekasihku, dikutuk. Bahwa esok dan mungkin selamanya cinta ditopang amarah. Hingga kelak musim-musim itu datang lagi, tak ada lemau. Wajah-wajah akan memerah setiap kali cinta disangkal. Juga bagi air mata, telah disediakan tempat paling nyaman. Ialah wadah di toilet para penyangkal, mereka yang senantiasa menyembur musim-musim air mata. Tiga belas jam setelahnya, ada amarah di mana-mana.
Insaka, 2018/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H