Mohon tunggu...
Herman Kurniawan
Herman Kurniawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ingin belajar menjadi penulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Pilu di Sore Ramadhan

3 Juli 2014   18:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:39 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore biasanya begitu menyenangkan untuk dirasa, tapi sore ini tak begitu menyenangkan untuk disapa, aku seperti di dalam kapal yang telah terombang-ambing diterjang ombak samudra, dan aku tertinggal di dalam olehnya, sendiri tanpa ada yang menawarkan tangan untuk memberi asa, tanpa ada suara yang menenangkan jiwa. Aku hanya bisa memeluk tubuhku yang mulai pilu, dengan bibir yang makin kelu, berharap ada yang memberikan pertolongan, atau sekedar menawarkan perhatian.

Sore biasanya menjadi favoritku, rumah adalah surga di kala sore bagiku, jika aku tidak sedang terlelap, aku akan menonton TV sambil makan masakan mamaku yang sedap, namun semua adalah cerita masa lalu, yang tersisa adalah perasaan sakit yang masih menderu. Cerita itu kini menguap sedih dari bibir sore ini, aku hanya bisa mengais kisah yang kini telah terbakar menjadi abu.

Kadang perasaan sakit ini datang tiba-tiba, menyergap dan membekap tubuhku, aku lemas dan terkulai tak berdaya, terhuyung dan tersungkur tanpa kekuatan apa-apa, sejenak pandanganku mulai kosong tanpa cahaya, seperti dalam dunia yang tak ada matahari di dalamnya.

Akulah sore yang menyesal, sore dimana tak ada satupun kerabat dekatku yang tertinggal, soreku biasanya dihiasi dengan pertemuan dengan kerabat dekat rumahku, namun kini mereka juga tak ada yang datang menemuiku, entah apa mereka bahagia atau juga merasakan perasaan yang sama sepertiku.

Aku ingin cepat memeluk senja, jarum jam hanya berkutat di situ saja, tanpa berusaha untuk mengabulkan keinginan yang aku punya, aku rindu tawa bahagiaku ketika aku sehat, ketika aku tidak lemah dan masih kuat. Tapi aku diajarkan dan ingat kata orang tuaku, bahwa semua akan berlalu, semua keadaan sulit akan pergi tanpa ingin tinggal lagi di pundakku,.

Aku kemudian bangkit dari tempat tidurku, langkah gontai menuntun kakiku, kuambil handuk dan menuju kamar mandi, mungkin beberapa bilas air akan sedikit meredakan perasaan sakitku ini, beberapa bilas kubasuhkan ke tubuhku, sedikit tenaga dapat kurasakan kembali di diriku, namun perasaan lemah dan sakit tetap menderaku, kuharap ini cepat berakhir, pikirku.

Setelah semua selesai aku keluar dari kamarku, seharian aku hanya tergolek di kasurku, karena perasaan sakit ini. Kulihat ibuku menemuiku, pandangan pilu semakin menambah syahdu di batinku, aku yakin ibu juga ingin membantu meredakan rasa sakitku. Kulihat ibu kemudian tersenyum kepadaku seakan meyakinkan bahwa keadaan yang sulit ini telah berlalu.

“Semua sudah ibu siapkan” – kata ibuku

“Iya bu, Ade udah gak kuat” – kataku lirih

Tak lama sayup sayup terdengar suara Adzan, Alhamdulillah perasaan yang mendera telah berlalu hari ini, ini adalah hari pertamaku puasa secara penuh, tatapan ibu sangat tulus seraya membelai rambut dan kepalaku, kuharap puasa pertamaku di umur 5 tahun ini berkah dan mendapat pahala dari Allah SWT dan tak lupa aku mencium tangan ibuku sambil memandang sajian buka puasa yang sangat lezat, terima kasih Ibu

Selamat berbuka puasa, teman – teman.

Herman Kurniawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun