Oleh: Hermansyah
Masih segar dalam ingatan kita krisis ekonomi global yang terjadi 2008. Bahkan krisis ini disebut-sebut sebagai bencana ekonomi terdahsyat setelah the Great Depession 1930. Akibatnya, banyak perusahaan dan lembaga keuangan yang runtuh. Sebut saja Bank of America, Merrill Lynch, Goldman Schacht, dan Well Fargo.
Jika mau jujur, sebenarnya krisis ekonomi yang selama ini terjadi merupakan fakta konkret yang akan terus datang dengan faktor yang hampir sama. Hal ini senada dengan pernyataan pengamat ekonomi A. Prasetyantoko, yang mengatakan bahwa krisis itu ada dan akan tetap ada serta cenderung mengemuka dalam situasi amat longgar yang memungkinkan perilaku spikulasi yang berorientasi profit begitu besar beraksi.
Jika demikian, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa sebenarnya yang menyebabkan krisis ekonomi terus-menerus terjadi? Dan apakah tidak ada sistem ekonomi yang imun menahan terjangan krisis tersebut? Jawabannya adalah karena sistem ekonomi yang selama ini diagung-agungkan mengenyampingkan etika dan moral. Motif untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya telah membutakan para kapitalis sehingga yang terjadi adalah krisis ekonomi yang berkepanjangan dan penjajahan terhadap negara-negara miskin.
Spirit kapitalisme memfokuskan paradigma di mana ekonomi ditempatkan sebagai panglima. Pada satu sisi terjadi kemajuan pembangunan fisik yang luar biasa. Namun di sisi lain kehancuran dan ancaman kelangsungan kehidupan manusia juga di hadapan mata. Praktis, krisis tidak lagi semata berkutat pada sektor keuangan, tapi lebih dari itu krisis juga merambah sektor ekologi dan lingkungan.
Absennya Moralitas
Karena absennya moral dalam kapitalisme, maka yang terjadi adalah kegiatan ekonomi yang penuh dengan manipulasi demi mengejar keuntungan semata. Kegiatan ekonomi tidak lagi didasarkan pada prinsip-prinsip moral. Bahkan lebih parah lagi moral dianggap sebagai penghalang.
Jadi tidak salah jika Prof. Dr. Kursyid Ahmad (2001) yang secara tajam mengkritik ekonomi kapitalisme. Menurutnya, peradigma ekonomi konvensional yang muncul saat ini bercirikan pada paradigma yang berupaya melepaskan ilmu ekonomi dari semua kaitan transendental dan kepedulian etika, agama dan nilai-nilai moral.
Tidak hadirnya moralitas dalam tubuh kapitalisme telah melahirkan pelbagai kejahatan di mana tindakan ini telah membuat kemiskinan, kelaparan, dan menjajah negara-negara berkembang dengan kekuatan modalnya. Akibatnya, yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin kaya. Hal ini terjadi karena sistem ekonomi kapitalis dipengaruhi oleh semangat mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dengan sumber daya yang terbatas. Kebebasan yang ditawarkan kapitalis membawa konsekuensi kompetisi yang sangat ketat antarindividu. Dan untuk mencapai tujuan tersebut mereka membuang jauh-jauh nilai-nilai moral dalam kegiatan ekonomi.
Suparman Marzuki dalam artikelnya “Kapitalisme, Keserakahan dan Kejahatan”, membagi kejahatan kapitalisme menjadi tiga. Pertama, the crime of accommodation, yaitu kejahatan yang timbul sebagai respons pelaku terhadap dorongan maksimum konsumsi. Kedua, the crime of economic domination, yaitu jenis kejahatan yang berupa penipuan pajak, kejahatan lingkungan, eksploitasi buruh dan penyimpangan kontrak karya. Ketiga, the crime of government, yaitu penyalahgunaan wewenang birokrasi, korupsi, pengabaian terhadap hukum, dan hak asasi manusia.
Bentuk ekonomi yang digagas oleh Adam Smith dalam perjalanannya memang sering menyengsarakan masyarakat. Kapitalisme tidak mampu memberikan kesejahteraan secara merata bagi manusia terutama bagi rakyat kecil yang tidak memiliki kekuatan modal. Sebagai agenda utama kapitalisme, pasar bebas hanya menguntungkan pemilik modal saja dan rakyat miskin selalu menjadi korban atas keserakahannya.
Konsep ekonomi yang ditawarkan kapitalisme dengan pasar bebasnya ternyata tidak mampu membendung berbagai krisis ekonomi. Tentu belum hilang dalam ingatan kita tentang krisis ekonomi yang terjadi pada 1930, 1970, 1980, 1998 dan krisis global yang menghancurkan sejumlah ekonomi dunia pada akhir 2008. Krisis ini terjadi akibat kejahatan dan keserakahan kapitalisme yang hingga kini terus terjadi. Terjadinya krisis, kelaparan dan kemiskinan telah menjadi bukti nyata akan kejahatan dan kegagalan ekonomi kapitalis yang mesti diwaspadai.
Sistem pasar bebas sebagai sistem ekonomi yang dianut oleh sebagian besar negara, dalam realitasnya belum sepenuhnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sistem pasar bebas hanya bisa dinikmati oleh kalangan pemilik modal saja, sementara kalangan rakyat miskin harus menjadi budak dan merelakan tenaganya untuk dijual kepada kalangan yang memiliki modal besar.
Oleh karena itu, dengan berbagai ketimpangan yang dilahirkan sistem pasar bebas, patutlah kiranya eksistensi sistem pasar bebas kita tinggalkan dan beralih pada ekonomi yang lebih berkeadilan. Mungkin tidak berlebihan jika pilihan kita saat ini jatuh pada ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Karena hanya sistem ekonomi syariah yang mampu bertahan dari badai krisis dan bahkan terlepas dari kondisi ekonomi yang membuat sejumlah perusahaan bangkrut. Dari sinilah, ekonomi syariah menawarkan solusi alternatif atas ketidakadilan sistem pasar bebas yang dilegitimasi oleh kapitalisme. Penulis sangat yakin kehadiran ekonomi tanpa bunga ini akan lebih memberikan keadilan bagi masyarakat ketimbang ekonomi pasar bebas.
*Pengamat ekonomi; anggota Lembaga Pengkajian Perbankan dan Ekonomi Syariah (LKPES) Universitas Muhammadiyah Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H