Dua jempol pantas kita acungkan kepada pelbagai media massa kita, termasuk media siber, yang gigih memerangi korupsi melalui karya-karya jurnalistik yang mereka publikasikan.
Meski demikian, apresiasi positif itu hendaknya tidak lantas melunturkan sikap kritis kita. Bila media-media itu mengkhalayakkan produk-produk jurnalistik yang nyata-nyata melenceng dari khittah yang seharusnya, wajar-wajar saja bila kita menjewer mereka.
Terus terang saja, belum lama ini saya geram membaca dua berita mengenai korupsi dari dua media siber ternama: Kompas.com dan Detik.com.
Rabu, 20 Juni lalu, Kompas.com mempublikasikan berita berjudul "KPK Usut Korupsi Pengadaan Al Quran di Kemenag". Isi berita itu pendek. Begini lengkapnya:
KPK Usut Korupsi Pengadaan Al Quran di Kemenag
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menyelidiki perkara dugaan tindak pidana korupsi baru, kali ini kasus di Kementerian Agama berupa dugaan korupsi pengadaan kitab suci Al Quran.
Penyelidikan kasus itu diungkap Ketua KPK Abraham Samad. Pengadaan Al Quran itu, kata Abraham, terjadi di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Saat itu, lanjut dia, direktorat itu dipimpin Nazaruddin Umar, yang kini menjabat Wakil Menteri Agama.
"Kayaknya enggak lama lagi naik ke penyidikan," kata Abraham di Gedung Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/6/2012).
Abraham menambahkan, pihaknya sudah satu kali melakukan ekspose perkara itu. Namun, Abraham mengaku lupa detail perkara itu, seperti nilai kerugian negara dan siapa yang melaporkan.
"Saya lupa. Nanti saya cek lagi," ujar Abraham.
Wahai pembaca yang cerdas, Anda tentu bakal menemukan pelajaran berharga bila mau mendayagunakan kejelian Anda.
Disebutkan Kompas.com, pengadaan Al Quran yang diduga dilakukan secara korup terjadi di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Saat tindak pidana itu terjadi, direktorat itu dipimpin Nazaruddin Umar, yang kini menjabat Wakil Menteri Agama.
Selain "Nazaruddin Umar" yang mestinya ditulis "Nasaruddin Umar" dan "direktorat" yang mestinya ditulis "direktorat jenderal", ada satu kejanggalan serius di situ.
Faktanya, Nasaruddin Umar tidak pernah menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam. Jabatan eselon I yang pernah didudukinya adalah Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
Dalam kasus ini, salah menulis jabatan bukan persoalan remeh. Di ranah hukum, ada istilah "error in persona" atau sederhananya berarti "salah orang". Bila dalam persidangan ternyata dakwaan jaksa penuntut umum terbukti "error in persona", maka majelis hakim tidak akan menerima dakwaan itu.
Jadi, jika memang ada kasus korupsi yang melibatkan (mantan) Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam, sementara Nasaruddin Umar tidak pernah menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Agama Islam, bisakah Nasaruddin Umar dimintai tanggung jawab? Itulah kejanggalannya.
Saya penasaran: Mengapa Kompas.com membuat kesalahan yang kelihatannya remeh namun fatal ini? Ada dua kemungkinan. Pertama, Ketua KPK Abraham Samad memang memberikan statemen yang keliru, lalu Kompas.com mengutip statemen itu apa adanya. Kemungkinan kedua, Kompas.com salah mentranskrip pernyataan sang narasumber dan kesalahan itu membekas di tubuh berita.
Berikutnya, mari kita telaah berita dari Detik.com sebagaimana saya kutip lengkap di bawah ini:
Hakim Agung Djoko Sarwoko Kembali Kuatkan Vonis Bebas Terdakwa Korupsi
Jakarta, Rudy Kuntjoro Soendoro bisa tersenyum gembira. Sebab Mahkamah Agung (MA) mengamini putusan bebas Pengadilan Tipikor Surabaya dalam perkara korupsi pengadaan lift RS Bakti Dharma Husada senilai Rp 7,3 miliar.
"Niet Ontvankelijk Verklaard (NO)/tidak menerima kasasi jaksa," kata panitera dalam website MA, Senin (18/6/2012).
Perkara kasasi nomor 589 K/PID.SUS/2012 diputus oleh ketua majelis hakim kasasi Djoko Sarwoko dan 2 hakim agung ad hoc tipikor lainnya. Perkara yang diterima pada 9 Maret 2012 ini diputus pada 9 Mei 2012 lalu.
Putusan ini membuyarkan harapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengharap Rudy Kuntjoro Soendoro selaku produsen dan pemasok lift diputus 1 tahun bui. Direktur PT Industri Lift Indo Nusantara (ILIN) itu diputus bebas oleh Pengadilan Tipikor Surabaya pada 11 Agustus 2011 lalu. Lantas JPU mengajukan kasasi namun kandas.
Sikap hakim agung Djoko Sarwoko atas vonis bebas terdakwa korupsi bukan pertama kali. Sebelumnya Djoko juga melepaskan Wakil Bupati Jember nonaktif, Kusen Andalas, dari dakwaan korupsi dana operasional pimpinan DRPD senilai Rp 700 juta. Putusan ini meluruskan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jember, Jawa Timur, yang sebelumnya memutus bebas.
"Bukan bebas, tapi lepas yaitu melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum," kata Djoko, Rabu (16/5/2012).
Putusan bernomor 1379 K/PID.SUS/2011 yang ini diketok pada 19 Maret 2012 ini dipaniterai oleh Mulyadi.
"Mengadili sendiri, menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan tetapi bukan merupakan perbuatan pidana," ujarnya.
(asp/nrl)
Mari kita mulai dari judul. Pertanyaan pertama yang dapat kita ajukan: Apakah putusan di tingkat kasasi hanya dibikin oleh satu orang hakim agung? Bukankah putusan itu dibikin oleh majelis hakim, yang berarti lebih dari seorang hakim agung?
Disebutkan di tubuh berita bahwa Djoko Sarwoko adalah Ketua Majelis Hakim Kasasi yang memutus perkara tersebut. Ia didampingi dua hakim agung ad hoc Tipikor. Terus, siapa dua hakim agung ad hoc itu? Apakah yang satu bernama Upin dan satunya lagi Ipin? Sayang sekali, Detik.com tidak memberi jawaban.
Disebutkan di paragraf pertama bahwa Rudy Kuntjoro Soendoro terlibat dalam perkara korupsi pengadaan lift RS Bakti Dharma Husada senilai Rp 7,3 miliar.
Deskripsi tersebut sangat tidak akurat. Faktanya, Rudy bersama Direktur Utama PT. Aneka Bangun Eka Pratama, Indra Lientungan, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan enam unit lift, yang sebagian besar berada di Pemkot Surabaya, bukan di Rumah Sakit Bakti Dharma Husada.
Empat di antara enam lift itu berada di Pemkot Surabaya (tiga unit dengan anggaran Rp. 3,9 miliar dan satu unit lift tabung dengan nilai anggaran sebesar Rp. 1,695 miliar) dan hanya dua unit lift di Rumah Sakit BDH dengan anggaran Rp. 1,8 miliar.
Sekarang kita beralih ke paragraf kedua. Di situ wartawan Detik.com menulis begini: "Niet Ontvankelijk Verklaard (NO)/tidak menerima kasasi jaksa," kata panitera dalam website MA, Senin (18/6/2012).
Pertanyaan saya: Apakah Panitera MA benar-benar membuat pernyataan itu pada hari Senin? Itu website MA yang mana? Benarkah NO berarti "tidak menerima kasasi jaksa"? Itu terjemahan bikinan Panitera MA atau hasil rekaan wartawan Detik.com sendiri?
Di luar itu, masih ada beberapa kejanggalan lain yang bisa Anda temukan, tentu jika Anda bersedia memaksimalkan kejelian Anda.
***
Awal tahun 2012, Dewan Pers menerbitan Pedoman Pemberitaan Media Siber. Pedoman itu disusun Dewan Pers bersama organisasi pers, pengelola media siber, dan masyarakat.
Pedoman itu perlu disusun lantaran media siber memiliki karakter khusus sehingga memerlukan pedoman agar pengelolaannya dapat dilaksanakan secara profesional, memenuhi fungsi, hak, dan kewajibannya sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Poin ke-2 Pedoman itu mengatur tentang verifikasi dan keberimbangan berita. Begini bunyi selengkapnya:
Verifikasi dan keberimbangan berita
a.Pada prinsipnya setiap berita harus melalui verifikasi.
b.Berita yang dapat merugikan pihak lain memerlukan verifikasi pada berita yang sama untuk memenuhi prinsip akurasi dan keberimbangan.
c.Ketentuan dalam butir (a) di atas dikecualikan, dengan syarat:
1.Berita benar-benar mengandung kepentingan publik yang bersifat mendesak;
2.Sumber berita yang pertama adalah sumber yang jelas disebutkan identitasnya, kredibel dan kompeten;
3.Subyek berita yang harus dikonfirmasi tidak diketahui keberadaannya dan atau tidak dapat diwawancarai;
4.Media memberikan penjelasan kepada pembaca bahwa berita tersebut masih memerlukan verifikasi lebih lanjut yang diupayakan dalam waktu secepatnya. Penjelasan dimuat pada bagian akhir dari berita yang sama, di dalam kurung dan menggunakan huruf miring.
d.Setelah memuat berita sesuai dengan butir (c), media wajib meneruskan upaya verifikasi, dan setelah verifikasi didapatkan, hasil verifikasi dicantumkan pada berita pemutakhiran (update) dengan tautan pada berita yang belum terverifikasi.
Mari kita balik lagi ke dua berita dari Kompas.com dan Detik.com yang saya bedah di atas. Menurut Anda, apakah dua berita itu tidak menyalahi Pedoman Pemberitaan Media Siber? Jika YA, butir-butir mana saja yang dilanggar?
Maaf, saya tidak menyediakan hadiah khusus untuk Anda yang berhasil membuat jawaban yang tepat. Meski demikian, saya akan mengacungkan dua jempol saya, sebagaimana saya melakukannya ketika membaca berita-berita di media media massa kita, termasuk media siber, yang gigih memerangi korupsi melalui karya-karya jurnalistik yang mereka publikasikan.
Saya tunggu kecemerlangan pikiran dan kelincahan jari-jemari Anda!
Rawamangun, 23 Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H