Berkat menulis di Kompasiana, saya diminta untuk menjadi "independent editor" majalah sebuah perusahaan. Tidak hanya itu, saya mempromosikan pula seorang kompasianer untuk bekerja sebagai penulis di perusahaan tersebut.
“Saya ketagihan tulisan-tulisannya Mas Herman nih.” Pengakuan itu ditulis Hanny Soemarno, ketika dia mengomentari tulisan saya berjudul Al-Quran Disubsidi, Listrik Sebaliknya.
[caption id="attachment_76885" align="alignright" width="300" caption="Saya (jongkok nomer dua dari kiri) dan Zulfikar Akbar (baju merah) saat menghadiri peluncuran buku "][/caption]
Siapa yang tidak bahagia mendapat apresiasi seperti itu? Jelas saja, saya bahagia. Saya bahagia karena pemberi apresiasi itu adalah praktisi komunikasi yang paham betul dunia tulis-menulis.
Mbak Hanny—demikian saya memanggil Hanny Soemarno—belajar menulis di media kampus "Berkala ITB". Dia mula berkarir sejak 1988 di broadcasting: TV, radio (newscaster, co-producer) berlanjut ke media cetak nasional. Mbak Hanny pernah juga menjadi copy editor untuk content provider multimedia, corporate communications consultant perusahaan publik, relawan untuk NGOs partner corporate social responsibility, dan kini fokus menangani komunikasi di industri migas.
Kebahagiaan itu kemudian menjadi berlipat-lipat karena Mbak Hanny juga menawari saya sebuah tantangan. Dia meminta saya bersedia menjadi independent editor untuk majalah yang diterbitkan perusahaannya—sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan.
Yup, saya terima tantangan itu. Tugas saya adalah melengkapi dan menyunting bahan-bahan tertulis yang telah terkumpul. Saya tidak perlu ke lapangan untuk melakukan reportase, tetapi cukup bekerja di depan layar komputer, di sela-sela pekerjaan ‘resmi’ yang kini saya lakoni.
Semula saya sempat ragu, lantaran ini adalah kali pertama saya bersentuhan dengan tema eksplorasi migas. Saya bukan sarjana teknik geologi. Wawasan saya sangat terbatas di bidang ini. Di samping itu, majalah yang saya gawangi ini merupakan edisi perdana. Dengan demikian, saya dituntut mampu merumuskan formula yang pas, sesuai visi-misi yang diusung perusahaan.
Untunglah, saya disodori TOR (Term of Reference) yang cukup komprehensif sehingga saya mengerti: mengapa majalah ini perlu diterbitkan, siapa saja yang hendak disasar, apa isinya, bagaimana cara mengemasnya, siapa saja yang terlibat dalam penggarapannya dan berapa lama pengerjaannya.
Untuk melengkapi data, saya berselancar di internet. Salah satu yang saya ubek-ubek adalah persoalan ekonomi, untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang perkembangan ekonomi kita selama beberapa tahun terakhir.
Nah, saat memburu data di dunia maya inilah saya sempat merasa geregetan. Apa pasal? Sejumlah website menulis berita ekonomi dengan memakai bahasa yang sangat teknis sehingga sukar saya pahami. Saya, yang bukan sarjana ekonomi, perlu berusaha lebih keras untuk memahaminya. Karena geregetan itulah kemudian saya menumpahkan isi kepala saya dalam sebuah tulisan berjudul Jangan Siksa Konsumen Media.
Usai melengkapi data dan menyunting beberapa artikel, rampunglah tugas saya. Hasil editing itu saya kembalikan kepada Mbak Hanny. Namun sayang, karena sesuatu hal, hingga kini majalah itu belum dicetak dan diedarkan.
Dalam perbincangan melalui e-mail beberapa waktu lalu, Mbak Hanny menyatakan bahwa akhir-akhir ini dirinya sedang sibuk luar biasa. Sementara ini dia fokus mengurusi program CSR perusahannya untuk membantu korban bencana Mentawai, Merapi dan Wasior.
“Ini kami sedang mencari tim content (penulis/data collector) untuk bekerja in house. Silakan bila ada kawan yg berminat,” tutur Mbak Hanny, lewat e-mail.
Begitu membaca isi e-mail itu, pikiran saya langsung tertuju ke sebuah nama: Zulfikar Akbar.
Beberapa waktu lalu, dalam perbincangan di Facebook, Zulfikar mengaku butuh pekerjaan, sekalipun sesungguhnya dia tidak nganggur-nganggur amat. Dia bilang sedang mengerjakan sebuah buku yang penulisnya adalah mantan menteri! Baik Zulfikar maupun mantan menteri tadi adalah kompasianer yang memiliki tulisan khas, dan tentu saja punya cukup banyak penggemar.
Saya bertemu Zulfikar ketika Kompasiana menggelar blogshop di arena Pekan Raya Jakarta, 25 Juli lalu. Berikutnya, ketika menghadiri peluncuran buku Wisnu Nugroho berjudul “Pak Beye dan Istananya”, 4 Agustus lalu, kami kembali bertemu di Toko Buku Gramedia—Grand Indonesia.
Dari pertemuan-pertemuan itu, juga dari tulisan-tulisannya di Kompasiana, saya bisa mengukur kualitas tulisan Zulfikar Akbar. Dia punya banyak kelebihan, menurut saya, terutama dalam hal mengeksplorasi tema dan kekhasan teknik penyajian. Berdasarkan pengalaman saya, menulis fiksi bukan pekerjaan gampang. Apalagi bila karya fiksi itu seperti yang dihasilkan Zulfikar.
Kelebihan lain rekan kita yang satu ini adalah pengalamannya. Dia lulusan bahasa Inggris, pernah jadi wartawan dan pernah bekerja di penerbit. Tidak hanya itu, dia juga sudah berhasil menulis buku, walaupun dia lakukan secara gotong-royong dengan penulis-penulis lain.
Begitu saya sodori nama Zulfikar Akbar, Mbak Hanny langsung berteriak melalui e-mail, “Bagussssss!!! Sy tunggu.”
Babak berikutnya berjalan mulus. Saya berikan nomer kontak Zulfikar dan tak lama kemudian Mbak Hanny menghubunginya. Saya tidak tahu persis apa isi perbincangan itu. Yang jelas, kemarin Zulfikar mengabari saya bahwa dia sepakat dengan jenis pekerjaan yang ditawarkan Mbak Hanny. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Mbak Hanny akan punya tandem baru dan Zulfikar akan menjadi “penulis in house”—sebuah nama pekerjaan yang seksi!
Untuk kali kesekian, saya diliputi kebahagiaan. Saya bahagia karena bisa membantu sahabat-sahabat kompasianer. Saya yakin, dua rekan kita—Mbak Hanny dan Zulfikar—juga merasakan hal yang sama.
Saya menulis di Kompasiana, menuai apresiasi positif, ditawari pekerjaan, mendapatkan rezeki dan membantu kompasianer menemukan pekerjaan sesuai keahliannya. Apalagi yang lebih membahagiakan dari semua itu?
Terima kasih, Kompasiana!
Menteng, 24 November 2010
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI