“Yes, bernegara. Saya tadi itu mewakili publik. Jadi now, sekarang, clear. Sebaiknya kalau kita bicara adalah bernegara. Saya sekarang menuju ke bernegara, Pak, ya. Bapak Presiden, kita nomor satu produsen sawit. Kita, kalau enggak salah, nomor satu lada. Geothermal kita is going to be the biggest, one of the biggest in the world. Kemudian gas kita, minyak kita saya kira masih potential itu hampir 86 miliar barrel potentially, tapi yang udah proven baru 4,7. Pertanyaan saya, Pak, do you believe we can be negara adidaya di 2045 perhitungan saya?”
Di Istana Negara, 21 Februari 2012 lalu, Soegeng Sarjadi mengucapkan kata-kata itu. Yang diajaknya bercakap-cakap ialah orang nomor satu di negeri ini: Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Tentu saja ada kejanggalan di situ. Kejanggalan pertama, dan ini menggelikan, Soegeng Sarjadi menggado-gadokan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris semau-maunya dia. Kejanggalan kedua, dan ini sungguh sangat memprihatinkan, percakapan menggunakan Bahasa Indonesia versi acak-acakan itu ditayangkan oleh TVRI. Acara hasil kerjasama Soegeng Sarjadi Syndicate dan TVRI itu dinamai Forum Soegeng Sarjadi.
Ya, TVRI adalah lembaga penyiaran publik. Ia satu-satunya stasiun televisi milik publik dan dituntut untuk berkhidmat kepada publik. Publik, dalam hal ini, tentu saja seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Adalah suatu tindakan pembodohan massal, ternyata TVRI tidak menampilkan penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, terutama pada acara-acara yang formal, seperti wawancara Soegeng Sarjadi dengan Presiden RI itu. Bila acara yang melibatkan RI-1 di lembaga penyiaran publik dan disiarkan ke seluruh pelosok nusantara tidak mempedulikan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar, acara apalagi di layar kaca yang dapat kita andalkan menjadi teladan penggunaan Bahasa Indonesia?
Pada 29 Juni 2012 lalu, Forum Bahasa Media Massa bersama Harian Kompas menggelar diskusi Sastra dan Bahasa Media Massa. Satu hal yang disoroti pada diskusi yang digelar di Bentara Budaya, Jakarta, itu ialah penggunaan kosa kata asing di media massa. Di antara rekomendasi yang dihasilkan diskusi itu ialah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus berperan membakukan kosa kata asing dan menyosialisasikannya.
Kesimpulan dan rekomendasi diskusi itu tidak keliru. Namun bila dicermati lebih jauh, kegenitan menggunakan bahasa asing, yang di sisi lain menunjukkan inferioritas bangsa Indonesia, sejatinya hanya satu di antara sekian banyak persoalan penggunaan Bahasa Indonesia di layar kaca kita.
Penggunaan Bahasa Indonesia secara asal-asalan kerap ditunjukkan penyiar atau pembawa acara. Memang para pembawa acara itu tidak mencampur-aduk Bahasa Indonesia dengan bahasa asing, namun tata bahasa mereka sangat kacau. Saya sering menjumpainya di tayangan langsung sepak bola.
Ini sekadar contoh: “Liverpool sendiri cukup kerepotan sekali menghadapi lawan-lawannya. Mereka selalu dikalahkan dari lawan-lawan yang kelasnya sebenarnya tidak bagus-bagus amat. Bagaimana Bung sendiri menganalisa hal ini?”
Berita-berita di layar kaca kita, terutamaberita kriminal, masih sering melanggengkan idiom-idiom khas militer dan birokrasi yang pengertiannya sering kabur dan membingungkan. Kalimat yang paling sering kita dapati misalnya: “Polisi mengamankan pencuri” atau “Beberapa anggota langsung bergerak cepat”.
Bila mau meneliti lagi, tentu masih banyak ketidakberesan penggunaan Bahasa Indonesia di layar kaca kita, entah dalam acara formal seperti saya sebut di atas maupun dalam acara tidak formal seperti acara musik. Yang saya sebut terakhir ini biasanya mengidap penyakit ‘lue-gue’ yang kronis.
Dari tahun ke tahun, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan penghargaan kepada media cetak pengguna Bahasa Indonesia terbaik. Ironisnya, penggunaan Bahasa Indonesia di layar kaca seperti tak ditoleh dan diabaikan begitu saja.
Faktanya, mayoritas masyarakat kita adalah penonton televisi. Beberapa kali survei AC Nielsen menunjukkan, lebih dari 60 persen masyarakat kita mengandalkan televisi untuk memperoleh informasi dan mendapatkan hiburan. Lantas, tidakkah kita prihatin terhadap ketidakberesan penggunaan Bahasa Indonesia di kotak ajaib itu? Wajarkah Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa diam saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H