Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Gempar Copy-Paste di Kompasiana: Surat untuk Sahabat

19 Maret 2011   23:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Apa kabar, Bro?

Kali terakhir kita bertukar SMS, kau mengabariku bahwa tak lama lagi kau akan ke Jakarta. Tentu aku sangat bahagia, sebab setelah kau kembali ke Aceh beberapa bulan lalu, aku diserang perasaan kehilangan bertubi-tubi. Kita belum khatam membahas Hamzah Fansuri, Sutardji Calzoum Bachri, WS Rendra, Wiji Tukhul. Kita masih terengah-engah memetakan media massa. Lebih dari itu, percakapan kita soal wanita—terutama tentang sex appeal-nya—baru menyentuh kulit ari persoalan.

“Piye kabare?” tanyamu, pekan lalu, lewat selembar SMS. Tentu kau masih ingat, aku jawab bahwa aku lumayan sibuk. Ada pekerjaan tiga hari yang mesti aku tuntaskan di Bogor.

Tapi ada yang terlupakan, Bro. Ada satu hal yang mestinya kukabarkan juga padamu waktu itu. Yaitu kabar tentang keaktifanku kembali di Kompasiana—social blog yang menjembatani persahabatan kita—setelah beberapa bulan tenggelam dalam rutinitas. Aku merasa bergairah kembali menulis di Kompasiana, salah satunya, karena ingin mengasah kemampuanku menulis fiksi.

Sebagaimana kau tahu, belakangan rubrik fiksi Kompasiana memang menggeliat. Dan aku tak mau kehilangan momentum itu. Setelah bereksperimen menulis Bibir Brutal para Lelaki, kemarin aku dan Dina Sulistyaningtyas bertandem menulis cerpen Terapis Spa dan Suaminya.

Di sela-sela menulis fiksi, kutengok-tengok pula sejumlah tulisan yang dihasilkan para kompasianer. Suatu malam, ketika mataku susah kupejamkan, aku membaca tulisan seorang kompasianer mengenai bom di Utan Kayu, Jakarta Timur. Ada banyak kejanggalan di tulisan yang oleh admin dijadikan HL itu. Aku lontarkan kecerewetanku dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Poin yang hendak aku tekankan ialah mengenai sumber tulisan. Oleh si penulis, tulisan itu diembel-embeli ‘reportase’, tetapi aku meragukan berita itu hasil reportasenya sendiri. Kau pasti tahu, hidungku masih cukup peka untuk sekedar mengendus bau plagiarisme.

Si penulis, dengan nada emosional, kemudian menyambut kecerewetanku. Kami pun berdiskusi cukup hangat, hingga akhirnya dia menutup diskusi itu, sembari melabeliku sebagai “kompasianer naïf”.

Sehari kemudian, ketika punya waktu senggang, aku coba tengok tulisan lain dari kompasianer yang sama. Temanya masih seputar bom. Tulisan itu tampak berbobot, lantaran memuat data aksi teror menggunakan bom yang pernah terjadi di Indonesia sejak tahun 1960-an.

Lagi-lagi aku mencium ketidakberesan, Bro. Aku yakin betul pernah membaca sebagian besar data itu dari sebuah majalah berita mingguan. Cukup dengan bantuan google, dengan mudah aku dapat membuktikan bahwa keyakinanku tidak meleset. Ya, tulisan kompasianer itu memang jiplakan belaka atas data yang pernah dipublikasikan di sebuah media massa—tentu dengan sedikit bumbu supaya terasa lebih manis. Sayangnya si penulis tak mau jujur mencantumkan sumber tulisannya.

Untuk menjadi pelajaran bersama—tidak hanya kompasianer tapi juga admin—aku merasa perlu membagikan ‘temuanku’. Karena itu aku lantas membikin tulisan Kompasiana Dibom dengan Tulisan Copy-Paste.

Segera saja tulisan itu menimbulkan kegemparan. Dari puluhan komentar yang kuterima, tampak jelas: banyak kompasianer geram atas praktik plagiasi yang mencederai intelektualitas ini. Sebagian kompasianer juga menyayangkan admin yang untuk kali kesekian menjadikan tulisan hasil plagiasi sebagai HL.

Tulisan pendek yang kurangkai tak lebih dari 15 menit itu ternyata berdampak. Tak lama kemudian admin menghapus tulisan berjudul “Indonesia Negri 1000 Bom”. Sementara itu, tulisan tentang bom di Utan Kayu dihapus sendiri oleh penulisnya.

Agaknya si penulis merasa gerah atas situasi ini. Dia menyebut orang yang mengkritik tulisannya sebagai orang usil yang iri. Dalam sebuah tulisan yang ditayangkannya kemarin, dia memandang dirinya sebagai kompasianer baru yang meroket, namun tulisannya sering jadi HL dan mendapat predikat ter-ter. Itulah, menurutnya, yang membuat beberapa kompasianer merasa iri.

Jujur saja, Bro, aku tak pernah memperhatikan orang ini sebelumnya. Memang aku pernah memberikan komentar pada tulisannya tentang resensi buku, tapi secara keseluruhan aku tak terlalu tertarik pada tulisan-tulisannya. Belakangan baru kuketahui bahwa dia sangat produktif mempublikasikan tulisan di Kompasiana. Dia juga pernah menjadi moderator dalam sebuah forum diskusi di internet. Mungkin karena punya reputasi itulah dia gampang tersinggung ketika sebuah tulisannya kukomentari dengan kritis.

Ah, aku tak peduli nama besar, Bro. Jangankan tulisan dia, berita-berita di media sebesar Kompas.com saja sering kujadikan sasaran kritik. Saat mengkritik, tentu aku berusaha sekuat mungkin agar tidak keluar dari pokok persoalan sekaligus membiasakan diri menggunakan parameter yang jelas untuk membuat penilaian.

Misalnya, aku baru saja ‘membuang’ waktuku untuk melihat-lihat beberapa tulisan kompasianer tadi dan menemukan aneka kejanggalan. Mari aku bimbing kau untuk membaca tulisan berjudul [Berita Horo] Gempa Jepang, Awas Nuklir Bocor! Jika kau memperhatikan betul-betul, kau akan tahu bahwa 6 paragraf awal tulisan itu berasal dari tulisan di Tempo-interaktif berjudul Jepang Umumkan Darurat Nuklir. Kemudian paragraf 8-9 berasal dari wikipedia, paragraf 10-12 berasal dari tulisan di Tempo-interaktif berjudul Otak Burung Dekat Reaktor Chernobyl Lebih Kecil dan paragraf 13-14 berasal dari sebuah tulisan di inilah.com berjudul Mengapa Ledakan Chernobyl Terburuk dalam Sejarah?

Jadi, bila dibedah, sebenarnya satu tulisan itu berasal dari empat sumber. Anehnya, tak satupun sumber tulisan itu disebutkan. Untuk membuat tulisan seperti itu, plus menambahkan beberapa foto yang langsung comot dari google, waktu 30 menit lebih dari cukup. Tapi, bolehkah tulisan seperti itu diklaim sebagai karya sendiri?

Itu baru satu contoh tulisan, Bro. Secara sepintas, aku juga mencermati dua tulisan yang dipublikasikannya berjudul Mundurnya Phil Collins dan Kelangkaan Solois Pria di Kancah Music Dunia dan Legenda Hidup Musik Indonesia Itu Bernama Iwan Fals. Dua tulisan itu pernah jadi HL pada masanya.

Jika mau menelusuri dengan seksama, kau akan kaget, Bro: betapa sebagian besar isi tulisan itu sudah ada di berbagai tempat di dunia maya. Bahkan kalimat yang dipakai admin sebagai ‘pengantar’ dalam HL berjudul Legenda Hidup Musik Indonesia Itu Bernama Iwan Fals sesungguhnya kalimat hasil ‘copy paste’ belaka. Coba saja cari di Wikipedia atau di tempat-tempat lain sesuai petunjuk google, kau dengan sangat mudah akan menemukan kalimat ini: “Selama Orde Baru, banyak jadwal acara konser Iwan yang dilarang dan dibatalkan oleh aparat pemerintah.”

Masih tentang ‘copy-paste’, kau tentu masih ingat suatu hari ketika kau mengikuti lomba menulis flash fiction dalam Ubud Festival 2010. Saat itu kau meminta bantuan untuk mendeteksi adanya praktik plagiasi yang dilakukan seorang peserta lomba. Kau menyodorkan sebuah tulisan yang kau curigai sebagai karya orang lain dan pernah kau baca dalam sebuah buku. Beberapa kompasianer lantas mencoba menerka-nerka: tulisan siapakah sebenarnya yang di-copy paste itu dan apa judulnya. Tanpa butuh banyak waktu, aku menemukan jawaban atas teka-teki itu, lalu menyodorkannya padamu.

Sesungguhnya aku sudah berkali-kali menulis mengenai masalah ini di Kompasiana. Kau masih ingat kan tulisanku berjudul Aksi Amoral Detektif Terbongkar di Kompasiana? Itu hanyalah satu di antara beberapa tulisanku yang mengupas masalah plagiarisme. Tulisan-tulisan lainnya ialah Kompasiana Bukan Sarang Plagiator dan Plagiat Gentayangan Lagi di Kompasiana.

Jujur, Bro, aku sudah malas mengurusi yang beginian. Malas banget. Kadang-kadang aku merasa sedang berbicara dengan tembok. Dan kau tentu mengerti, berbicara dengan tembok hanya membuang-buang waktu dan energi.

Bro, itulah kabar yang bisa aku berikan padamu. Tentu saja aku sangat mengharapkan kiriman kabar dari Aceh. Bukankah kau selalu punya cerita seru tiap kali berada di kampung halaman?

Oh ya, Bro, saat berada di Bandung, dua pekan silam, sesungguhnya aku ingin mampir ke rumah kekasihmu. Tapi, ah, aku tak punya cukup waktu. Aku harus cepat-cepat balik ke Jakarta, padahal ingin sekali aku berkenalan dengan perempuan Tionghoa berjilbab itu. Ingin pula aku berbincang-bincang dengan keluarganya, yang katamu, sebagian muslim sebagian buddhis.

Okelah, Bro. Demikianlah kabar dari sahabatmu di Jakarta.

Salam hangat,

Herman Hasyim

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun