Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR Makin Lucu, Mari Kita Menangis

16 September 2010   06:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:12 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gus Dur sudah tiada, tapi para wakil rakyat di Senayan belum juga beranjak dewasa.

Ah, Gus Dur tak sepenuhnya keliru saat menyebut DPR sebagai kumpulan anak-anak TK. Nyatanya, ulah menggelikan mereka makin hari makin menggila. Dari rencana bikin gedung baru yang dilengkapi fasilitas spa hingga agenda studi banding ke Afrika Selatan untuk belajar tepuk Pramuka. Semuanya mengundang gelak tawa.

Oh ya, sebenarnya bukan Gus Dur saja yang pernah mencemooh anggota Dewan. Mahbub Djunaidi, wartawan dan politikus NU jaman doeloe, juga kerap melontarkan lelucon yang menyindir-sindir anggota parlemen.

Saya punya buku karya Mahbub Djunaidi berjudul “Dari Kolom ke Kolom”. Isinya adalah kumpulan kolom yang pernah dimuat di harian Kompas. Dibawakan dengan ringan dan segar, kolom-kolom tersebut punya bobot yang tidak bisa dientengkan.

Baiklah, dengan senang hati saya akan berbagi kutipan-kutipan dari buku tersebut. Menurut saya, corat-coret Mahbub Djunaidi relevan sekali dengan keadaan DPR akhir-akhir ini. Yuk, kita langsung menuju TKP….

“Satu keajaiban sedang terjadi: parlemen jadi sandiwara, dan sandiwara jadi parlemen.” (h. 30)

“Di mata seniman, politikus itu jorok, culas, dan tak patut dijadikan tetangga.” (h. 29)

“Dengan sendirinya bukanlah calon-calon itu orang-orang yang terganggu jiwa maupun ingatannya, karena penduduk tidak mungkin punya wakil-wakil setengah gila. Berbahaya.” (h. 93)

“Orang parlemen semakin menjadi halus dan sopan santun, bagaikan tuntutan sang menantu kepada mertua.” (h. 30)

“Kalau provinsi brengsek, sorotan bukan semata ke gubernur, melainkan juga DPRD. Siapa tahu, DPRD-nya tenang-tenang saja, tiada kontrol maupun kritik, sehingga eksekutif nyelonong tiada penahan.” (h. 48)

“Bahkan parlemen, yang menurut riwayat justru tempat bicara, tidaklah gemar lagi membuka mulut selebar-lebarnya, seperti mbah guru mereka Montesqieu yang meraung-raung di mimbar bagaikan keledai, melainkan memilih kecermatan di atas segala-galanya.” (h. 56)

“Ditilik dari sudut kebajikan, omong besar dan kasak-kusuk sama-sama bukan tabiat yang layak dipuji, seperti halnya orang kegemukan atau kekurusan.” (h. 56)

“Keinginan ini tidak sulit dicapai, cukup kalau semua telunjuk kelompok Karya Pembangunan di DPR diacungkan ke langit. Undang-undang yang bagaimana saja bisa jadi.” (h.12)

“Di manapun juga, Parpol itu bukan kumpulan orang tolol semua.” (h.11)

“Kemudian kampanye. Ini saat yang paling meriah, sarat janji dan sumpah, yang apabila segalanya terbukti, akan mengubah negeri ini menjadi semacam cerita dongeng.” (h. 90)

Bagaimana? Apakah Anda memperoleh inspirasi setelah membaca kutipan-kutipan di atas? Atau Anda mendapatkan teknik baru untuk mengolok-olok anggota DPR?

Sekiranya ada yang lucu, tertawalah sekuat-kuatnya. Kalau sampai meneteskan air mata, berarti Anda senasib dengan saya.

Menteng, 16 September 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun