Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dari Kompasiana ke Villa Hantu

4 Januari 2011   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:58 2051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kompasiana masih dipadati caci-maki. Di berbagai rubrik, kata-kata kotor berserakan. Sumpah serapah dirakit dan diledakkan. Di Rumah Sehat ini orang-orang berbudi pekerti itu masih gemar menunjukkan kebengisannya. Rekan diskusi diajak tinju. Beda pendapat berbuntut saling sikat.

Mendadak Kompasiana jadi padang Kurusetra, tetapi tidak pernah jelas siapa menjadi Pandawa dan siapa menjadi Kurawa. Sebab sebagian besar adalah Rahwana. Ada seribu wajah di sana. Asli dan palsu tiada kentara.

Malam ini aku ingin memutar jarum jam. Akan kutinggalkan Kompasiana. Aku hendak kembali ke suatu hari di tahun 2003. Saat itu aku dan teman-temanku beranjak ke Villa Hantu. Villa itu terletak di lereng perbukitan di daerah Tretes, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Persis di bawah kami adalah air terjun Kakek Bodo.

[caption id="" align="alignleft" width="393" caption="Aku (berdiri nomor tiga dari kanan) bersama kawan-kawanku di halaman Villa Hantu, delapan tahun silam."][/caption] Kami adalah para mahasiswa IAIN Surabaya yang bergiat di pers kampus “Solidaritas”. Yang menakjubkan ialah pada hari itu otot-otot leher kami kerap mengencang tetapi tak ada banting gelas atau suara bag-big-bug di sana. Kami beradu ide tetapi kami memilih bersikap ramah ketimbang marah saat duel gagasan itu berakhir.

Hari-hari itu kami berembug tentang berbagai hal: AD/ART organisasi, rubrikasi tabloid, jadwal terbit, hingga perombakan susunan redaksi.

Ketegangan kerap melanda, terutama ketika seorang di antara kami menolak dicalonkan jadi Ketua Umum. Rupa-rupa kecurigaan bermunculan. Seakan-akan orang itu lari dari tanggung jawab, karena sebelumnya sudah ada komitmen: siapapun harus bersedia dicalonkan menjadi Ketua Umum dan tidak boleh menolak kecuali memiliki alasan yang benar-benar masuk akal.

Teman yang satu itu pergi begitu saja meninggalkan forum. Beberapa orang mencari-carinya, bahkan sambil meneriakkan umpatan-umpatan kasar khas Surabaya. Toh temanku yang satu itu raib begitu saja ditelan malam. Di kemudian hari, dia menjadi Presiden BEM, dan mengertilah kami apa yang sesungguhnya terjadi pada malam yang dingin itu.

Villa Hantu menjadi saksi kekerasan sekaligus kelembutan hati kami. Dan Villa Hantu cukup pas mengemban peran itu. Tampangnya seram. Dengan lampu neon 10 watt, wajah kami tampak temaram. Barangkali kami serupa hantu. Ya, hantu kampus yang tentu saja kalah tenar dibanding ayam kampus.

Dengan bergiat di pers kampus, reportase dan artikel-artikel yang kami hasilkan memang kerap menghantui civitas akademika; tidak hanya mahasiswa, tetapi juga dosen dan pejabat kampus.

Suatu ketika, aku dan beberapa rekan yang masih yunior, mendapat tugas berat. Laiknya wartawan investigator, kami diberi tugas mengungkap borok-borok di kampus sendiri. Sasaran kami adalah pejabat rektorat.

Kami harus membuka mulut-mulut yang terkunci. Dan bila mereka tetap bungkam, kami harus mencari sumber lain yang dapat dipercaya.

[caption id="" align="alignright" width="389" caption="Dengan kostum Juventus bajakan, aku berlagak."][/caption]

“Aku sangat tidak yakin kalian bisa mengemban tugas ini,” kata seorang senior, “Buktikanlah bahwa aku keliru menilai kalian.”

Aku masih ingat betul, suatu malam aku dan seorang rekanku bertandang ke rumah seorang dosen untuk mewawancarainya. Tujuan kami adalah mengorek keterangan mengenai kemungkinan adanya penyimpangan penggunaan anggaran di kampus. Baru menyodorkan alat perekam, kami langsung disemprotnya.

“Anda ini seperti wartawan Memorandum!” teriak dosen itu. Di Surabaya, Memorandum adalah koran kuning yang laris-manis di kalangan masyarakat bawah. Isinya mirip dengan koran Lampu Merah, sebelum berganti nama menjadi Lampu Hijau.

Ketidakyakinan seniorku tadi ternyata benar. Kami tak mampu menembus sumber utama. Padahal prinsip dasar investigasi yang kami lakukan adalah mengumpulkan informasi dari lapis terluar, lalu merangsek ke lapis dalam, hingga akhirnya menggapai lapis terdalam. Lapis-lapis narasumber itu seperti lingkaran obat nyamuk. Kami hanya berhasil menjangkau sumber di permukaan. Dan itu tidak cukup.

[caption id="" align="alignleft" width="423" caption="Tamoang-tampang jaman perjuangan."][/caption]

Tetapi kami mendapat pelajaran berharga dari situ. Kami belajar tentang independensi. Kami menerima anggaran dari rektorat, tetapi kami tetap kritis terhadap mereka. Kalau mau dibandingkan, ini mirip apa yang dilakukan LBH Jakarta pada tahun 1970-an. Saat itu mereka menerima dana dari Pemprov DKI tetapi LBH Jakarta tetap kritis terhadap Gubernur Ali Sadikin.

Pelajaran lain yang aku, juga teman-temanku, dapatkan di pers kampus ialah teknik mengasah curriosity (rasa ingin tahu), kejelian, juga kepekaan.

Suatu hari kami bertandang ke Tunjungan Plaza—mall paling megah di Surabaya. Kami menyelinap dari toko ke toko. Dari sudut tertentu kami memperhatikan gerak-gerik muda-mudi yang mematung tak jelas sedang menunggu siapa. Kami tajamkan penglihatan dan pendengaran. Kami dayagunakan juga lidah agar tidak kaku. Kepada orang-orang itu, yang bersarung hingga berok pendek, kami bertegur sapa.

Dari observasi itu kami mengumpulkan banyak informasi. Setidaknya kami berhasil mengindetifikasi perawakan gigolo yang ulet menawarkan jasa libidonya kepada calon konsumennya. “Mereka berpotongan necis, rambut kelimis, wangi, dan mengapit koran yang digulung,” kami menyimpulkan.

Di waktu lain, kami meluncur ke terminal Joyoboyo. Di terminal yang jadi markas Klantink ini kami mengumpulkan informasi tentang kehidupan anak jalanan dan pengamen. Kita tahu, Klantink adalah kumpulan pengamen asal Surabaya yang belum lama ini menjuarai Indonesia Mencari Bakat di Trans TV.

Di belakang terminal Joyoboyo terdapat Sanggar Alang-Alang. Di tempat inilah puluhan anak jalanan bermukim dan menempa diri. Sebagian besar mereka menjadi pelajar Sekolah Malam Pengamen (SMP). Mereka belajar memainkan berbagai alat musik. Sebuah grup band berhasil mereka dirikan. Mereka juga membuat film dokumenter.

[caption id="" align="alignright" width="414" caption="Kami manusia: punya rasa punya rupa."][/caption]

Di tempat inilah kepekaan kami diasah. Kepekaan sosial mutlak diperlukan untuk membuat tulisan yang mengandung human interest. Jika sudah mati rasa, matilah sudah kemanusiaan itu. Apa artinya jasad tanpa rasa?

Ketika berkumpul di Villa Hantu, seorang di antara kami suka meledek teman yang ngomong bertele-tele tapi tidak sistematis dan tidak jelas pula maksudnya. “Baru belajar ngomong ya?” kata dia.

Menerima ledekan seperti itu, seorang teman terpancing amarahnya. Sorot matanya mendadak menyala. Suaranya meninggi. Tetapi keadaan seperti itu tak berlangsung lama. Api amarah itu segera padam karena kami buru-buru menyiramnya dengan canda-tawa. Setelah itu kami kembali berhantam-hantaman ide, tanpa banting gelas, tanpa bag-big-bug.

Waktu terus bergulir. Kini aku ingin kembali ke tahun 2011. Sewindu aku melakukan perjalanan dari Villa Hantu ke Rumah Sehat bernama Kompasiana.

Kubuka mataku lebar-lebar. Oh, rupanya Kompasiana masih dipadati caci-maki. Kata-kata kotor berserakan. Sumpah serapah dirakit dan diledakkan. Rekan diskusi diajak tinju. Beda pendapat berbuntut saling sikat...

Menteng, 4 Januari 2011

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun