Majalah ini mencerminkan adanya toleransi, kolaborasi, dan keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. [caption id="attachment_9448" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: masternewmedia.org"][/caption] Mampang, Jakarta Selatan, penghujung tahun 2008. Ketika itu saya sedang kurang fit. Pagi-pagi, saat saya masih meringkuk di kamar kos, dari Depok teman saya datang. Dia membangunkan saya.
“Kita ke kantor majalah Baitul Muslimin, Kawan,” ajak pria asal Flores ini. “Kawan bisa menulis berita atau artikel di sana. Honornya lumayan.”
Sebelumnya, saya sudah pernah membaca majalah ini, entah edisi ke berapa. Di sebuah lapak penjaja koran, saya kaget ketika menemui sebuah artikel di majalah ini yang isinya 90 persen sama dengan artikel yang pernah saya buat di sebuah media online. Artikel itu mengenai SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah. Bahkan judul artikel bajakan itu sama persis dengan judul yang saya pakai. Yang berbeda hanya paragraf pembukanya. Payahnya, sang penulis sama sekali tidak mencantumkan sumber tulisan itu.
Di mata saya, majalah Baitul Muslimin cukup bagus, baik isi maupun desainnya. Karena itu saya, yang sedang tidak punya pekerjaan tetap, mengiyakan ajakan teman saya yang mantan wartawan majalah GATRA itu. Siang harinya, dengan menunggangi sepeda motor bebek, kami meluncur ke kantor majalah Baitul Muslimin, di Jalan Danau Belajan Nomor 109, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Tiba di sana, teman saya memperkenalkan saya kepada pemimpin perusahaan dan redaktur pelaksana. Dua-duanya orang Katolik. Bedanya, yang satu lulusan S-2 di Australia, sedangkan yang satunya jebolan universitas dalam negeri.
Mereka menyambut saya dengan hangat. Selain saya dan teman saya asal Depok tadi, ada seorang redaktur dan seorang reporter di ruangan itu. Kami melakukan rapat redaksi. Posisi saya sebagai kontributor.
Alex, sang pemimpin perusahaan, mengutarakan sepintas identitas majalah yang kali pertama terbit pada Juli 2008 itu. “Majalah ini didirikan oleh HM Said Abdullah. Beliau adalah anggota Komisi VIII DPR dari PDIP,” tuturnya.
Visi dan misi Baitul Muslimin disaripatikan dalam tagline: Keberagamaan, Kebangsaan dan Kebhinnekaan. “Jadi majalah ini berusaha mengusung Islam yang moderat,” Alex menambahkan.
Di struktur resmi, Pemimpin Redaksi majalah ini adalah HM Said Abdullah. Zuhairi Misrawi, seorang intelektual muda NU, bertindak selaku Wakil Pemred. Menurut Alex, Gus Mis—sapaan Zuhairi Misrawi—berperan besar dalam mengembangkan majalah yang terbit bulanan ini.
Mengenai keterlibatan beberapa orang Katolik di dapur redaksi, Redaktur Pelaksana memberikan penjelasan. “Kita lebih mengurusi teknis penerbitan majalah. Soal substansi, kita sudah punya arah yang jelas. Ini adalah keinginan Bapak Said Abdullah sendiri, sebagai pengusaha maupun sebagai Pemred,” tutur Willy, sang Redpel.
Setelah itu dia menjabarkan rubrikasi dan job description. Selaku kontributor, porsi yang saya dapatkan tak banyak. Saya hanya dijatah tiga artikel.
Tetapi sayang, belum sempat menyumbangkan artikel untuk majalah itu, kondisi kesehatan saya semakin buruk. Saya memutuskan untuk memulihkan kesehatan, ketimbang ngos-ngosan dikejar deadline. Maka, saya pun urung menjadi kontributor majalah Baitul Muslimin, apalagi setelah itu saya mendapat pekerjaan di tempat baru.
***
Walau hanya sepintas berinteraksi dengan Baitul Muslimin dan orang-orang katolik itu, saya mendapat kesan yang cukup mendalam.
Saya jadi teringat Kompas. Bagaimanapun juga, harian Kompas tak bisa dilepaskan dari sosok PK Ojong. Dan membicarakan PK Ojong, tak bisa tidak, kita mesti ingat posisinya di tahun 1960-an sebagai petinggi Partai Katolik.
Apa yang terjadi di Baitul Muslimin sesungguhnya berkebalikan dengan apa yang terjadi di Kompas. Meski begitu, ada benang merah yang mengubungkan keduanya.
Pada Baitul Muslimin, seorang muslim berperan sebagai penyandang dana sekaligus master mind. Dia kemudian dibantu beberapa orang katolik.
Di Kompas, yang berperan sebagai penyedia dana sekaligus master mind adalah orang-orang Katolik. Tetapi di kemudian hari banyak muslim dilibatkan.
Jadi, benang merah yang terlihat jelas ialah adanya toleransi, kolaborasi, dan keberpihakan kepada nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.
Terhadap yang demikian itu, saya angkat topi.
Menteng, 25 Desember 2010
Artikel terkait:
Anak Muda Tionghoa Perlu Meneruskan Langkah Ong Hok Ham
Reinvensi Makna Lebaran Demi Indonesia Damai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H