Mohon tunggu...
Herman Hasyim
Herman Hasyim Mohon Tunggu... -

Wartawan bertanya "ada apa". Filosof bertanya "mengapa". Dan orang kreatif bertanya "apa jadinya bila".

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bagaimana Saya Belajar Agama

6 September 2010   14:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:24 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anakku sayang,

Malam ini ayah ingin berbicara tentang agama. Kamu dengarkan sambil rebahan nggak apa-apa. Ya, anggap saja sebagai dongeng sebelum tidur.

Sewaktu kecil, ayahmu ini belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah (Setingkat SD) dan di rumah seorang kyai di kampung kami, Tuban, Jawa Timur. Selain Al-Quran, beragam kitab pernah diajarkan guru-guru ayah. Kitab-kitab itu mengupas tentang ilmu tajwid (pengucapan huruf Arab), nahwu-sharaf (struktur dan grammar bahasa Arab), akidah (teologi), akhlak, tafsir, fiqh (hukum Islam), dan lain-lain.

Payahnya ayah tidak betul-betul menguasai bahasa Arab. Padahal, ia adalah senjata utama untuk menaklukkan pelbagai ilmu yang berasal dari Jazirah Arab. Meski demikian, nilai bahasa Arab ayah tidak jeblok-jeblok amat. Di rapor, ayah kerap mendapat nilai 8. Demikian juga untuk mata pelajaran lain seperti Al-Quran, Hadis, Akidah, Akhlak, Fiqh, dan Sejarah Islam.

Hemmm…., kamu belum ngantuk, kan? Baiklah, ayah teruskan.

Waktu itu, agama sama sekali bukan obyek perdebatan, melainkan referensi kehidupan yang tak perlu dipertanyakan. Karena itu, selain mengkaji ilmu agama, ayah dituntut untuk mengamalkan. Kyai ayah pernah berujar begini: agama iku ojo dirasani, tapi dirasakno. Maksudnya, agama itu jangan cuma dikaji, tapi juga mesti dipraktikkan.

Maka, sewaktu kecil, sarung dan peci jarang ayah lepas. Pagi belajar di Madrasah Ibtidaiyah, sore mengaji di rumah kyai, malam tidur di masjid. Kehidupan begini ayah jalani hingga ayah lulus Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP).

Pemahaman keislaman ayah mulai berbelok ketika pada suatu hari ayah membaca buku “Sistematika Filsafat IV: Metafisika” yang ditulis Sidi Gazalba. Saat itu ayah duduk di kelas dua Madrasah Aliyah (setingkat SMA).

Ayah ingat betul, buku itu bersampul coklat, tidak terlalu tebal, dan ada stempel Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di situ. Sewaktu ayah pungut dari perpustakaan, buku itu berdebu. Rupanya sudah lama tidak dibuka-buka. Bahkan bisa jadi ayah adalah orang pertama yang membaca buku itu sejak ditaruh di perpustakaan ini.

Melalui buku yang diterbitkan penerbit “Bulan Bintang” itu, Sidi Gazalba mengajak ayah merenungkan banyak hal: apa itu kehidupan, siapa sesungguhnya manusia, apa sebenarnya Tuhan dan agama, bagaimana manusia bertindak, dan beberapa tema yang berhubungan dengan itu.

Dia juga memperkenalkan pemikiran para tokoh metafisika dunia: dari filosof-filosof Yunani hingga teolog-teolog muslim. Walaupun Sidi Gazalba menyinggung pemikiran-pemikiran mereka secara sepintas, bagi ayah, ini sudah menambah banyak pengetahuan ayah soal agama.

Anakku, kamu belum begitu paham ya terhadap apa yang ayah bicarakan? Tidak apa-apa. Cepat atau lambat, kamu pasti akan memahaminya.

Nah, sejak membaca buku karya Sidi Gazalba itu, ayah mulai berani mempertanyakan banyak hal. Ya, banyak hal yang selama ini ayah yakini tanpa perlu ayah tanyakan lebih jauh. Misalnya soal takdir. Awalnya ayah tak pernah secara serius memikirkan tema besar dalam perbincangan teologi Islam ini. Takdir adalah kehendak mutlak Allah. Itu saja yang tertancap di pikiran ayah. Tak pernah ayah bertanya: apakah takdir adalah skenario baku dari Allah yang tak bisa diubah sehingga tugas manusia hanyalah melakoni peran yang sudah digariskan? Apakah manusia bebas bertindak atau segala tindak-tanduknya sudah di-setting Allah sejak zaman azali? Kalau memang manusia terikat, lantas apa artinya dosa dan pahala, surga dan neraka? Benarkah takdir bisa diubah? Lantas, apa sesungguhnya takdir?

Ayah semakin suka bertanya seputar agama ketika ayah kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Jangkauan pertanyaan ayah semakin luas saja: dari hal yang tampak remeh-temeh seperti jenggot hingga hal yang mengawang-awang seperti ‘arzy (singgasana Tuhan).

Seorang dosen ayah mengatakan, “Pertanyaan bersifat abadi, sedangkan jawaban bersifat sementara”. Ayah sepakat dengannya. Biarpun sebuah pertanyaan diulang jutaan kali oleh orang yang berbeda di zaman yang berbeda-beda, ia tetap layak untuk dicarikan jawaban. Sementara itu, biarpun sebuah jawaban disusun semeyakinkan mungkin, pada suatu saat atau di suatu tempat yang berbeda, jawaban tersebut tetap bisa dipertanyakan juga.

Dalam mencari jawaban atas berbagai pertanyaan yang bertindih-tindihan di kepala, ayah berusaha membaca buku sebanyak-banyaknya. Di samping itu, ayah juga rajin berdiskusi dengan teman-teman yang merasakan ‘kegelisahan’ yang sama dengan ayah.

Ayah juga berusaha mendapatkan informasi secukup-cukupnya tentang agama lain. Walaupun upayaku tidak semaksimal mahasiswa jurusan perbandingan agama, ayah merasa mendapatkan gambar yang berbeda dari gambar yang pernah disodorkan kepada ayah sebelumnya. Ayah tidak melihat agama ayah sebagai putih seputih-putihnya dan tidak pula memandang agama lain sebagai hitam sehitam-hitamnya. Ternyata agama itu pelangi. bahkan di dalam Islam pun ada pelangi.

Ahmad Wahib, dalam buku “Pergolakan pemikiran Islam”, bahkan berani menggugat kebenaran Islam. Di buku catatan harian yang kemudian diterbitkan itu, Wahib menggebrak apa saja yang menghalangi nalarnya untuk bekerja sekeras-kerasnya. Dia hantam konsep ijtihad (pembaharuan). Dia dobrak monopoli kebenaran oleh tokoh-tokoh agama. Dia bahkan berani merumuskan cara baru memahami Islam. Dia berprinsip, sejarah kehidupan Nabi Muhammad adalah jalan utama untuk memahami Islam. Ini berbeda dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa Al-Quran dan Hadis adalah sumber utama ajaran Islam.

Anakku yang cerdas,

Selain Ahmad Wahib, ada banyak pemikir Islam kontemporer asal Indonesia yang buku-bukunya kubaca. Mereka di antaranya Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rahmat, Quraish Shihab, Emha Ainun Najib, Azyumardi Azra, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan lain-lain. Secara umum, para ilmuwan muslim ini cenderung moderat, bahkan pluralis.

Tentu ayah juga membaca karya-karya ilmuwan Islam asal Timur Tengah, baik klasik maupun kontemporer. Sebagian besar ayah baca versi terjemahannya. Misalnya karya-karya Ibnu Katsir, Sayyid Sabiq, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, Al-Maududi, dan lain-lain.

Di samping memperkaya pemikiran tentang Islam, ayah juga berupaya menghayatinya dengan khusyu’. Ayah berusaha mencerna pemahaman agama yang sufistik. Ayah mengakrabi Al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir Jailani hingga Rabiah Al-Adawiyah.

Anakku…. Oh, rupanya kamu sudah tertidur. Ya sudah, tidurlah dengan pulas, sayang. Besok ayah lanjutkan. Mimpi yang indah ya. Emmuahhh....

Menteng, 6 September 2010

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun